Minggu, 15 Juni 2014

Nurdin Abdullah Berawal dari Niat Membahagiakan Ibu

BERSAMA ISTRI


 LAHIR sebagai putra prajurit TNI, dan mendapat tempaan hidup yang keras, membuat Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah, terdidik menjadi manusia mandiri. Nurdin tidak lahir dari laut yang tenang.


Suatu hari, di akhir-akhir 1970-an, Hj Nuraeni harus memboyong enam orang anaknya dari Pare-pare ke Makassar. Nuraeni memutuskan berjuang mencari nafkah di Kota Anging Mammiri, setelah bertahun-tahun menumpang di rumah keluarganya di Parepare. Rasa tidak enak dan membebani keluarga, adalah alasannya. Padahal, di Makassar, dia sebenarnya tidak tahu mau tinggal di mana.

Anak tertuanya, Nurdin Abdullah, saat itu, masih sedang duduk di bangku SMPN 4 Parepare. Sementara, suaminya, Haji Andi Abdullah, sedang bertugas sebagai Komandan Rayon Militer (Danramil) di Soppeng. Nuraeni harus menghidupi enam anaknya dengan penghasilan pas-pasan. Perempuan ini berjualan, hingga usaha katering mahasiswa, di bilangan Jalan Bandang, kala itu.

Sebagai anak sulung, Nurdin punya tekad yang kuat. Dia ingin membahagiakan ibunya. Nurdin kembali ke Parepare melanjutkan SMP, sambil bekerja. Di Kota itu, Nurdin secara rutin harus pukul 04.00 dini hari, lalu berjalan kaki ke sekolah yang jauhnya lima kilometer.

Pulang sekolah, dia mengepel lantai, dan mengelap jendela sekolah, hingga menjadi tukang pekerja taman. "Upahnya lumayan, cukup untuk membiayai sekolah, dan hidup mandiri," cerita Nurdin Abdullah, saat ditemui di Kantor Hakata Tour and Travel, Jalan Penghibur, Rabu malam, 11 Juni lalu. Demi cita-cita membahagiakan ibunya, Nurdin terus melanjutkan sekolahnya ke SMAN 5 Makassar, sambil kerja. Nurdin bahkan pernah berjualan batu merah. Nurdin menceritakan, ada satu penganan favorit yang kerap jadi bekal orang tuanya saat ke Parepare, yakni Putu Pesse.

Senin, 27 Januari 2014

Kisah Warga Selayar Bertahan 12 Hari di Laut

Dua belas orang awak kapal KM Tanadoang 04, yang hanyut dan terdampar di perbatasan Timor Leste, merasakan kuasa tuhan yang luar biasa. Mereka bisa bertahan hidup tanpa makan sampai delapan hari di laut, dan pantai yang sunyi.
Andi Intan, 47, bersama awak kapal lainnya, sebetulnya sudah pasrah saat sudah sepekan lebih terombang-ambing di atas kapal tanpa nakhoda, dan tanpa pertolongan. Mereka lemas, karena sudah dua hari mereka tidak makan. Air tawar untuk memasak nasi, dan buah pisang yang mereka makan selama lima hari terakhir, sudah habis. Namun, hari itu, 31 Desember 2013, semangat untuk hidup muncul, setelah melihat pulau dari kejauhan, di arah tenggara.

Hari itu, meskipun pulau sudah terlihat, kapal yang mereka tumpangi, KMN (Kapal Motor Nelayan) Tanadoang 04, tidak bisa digerakkan."Mesinnya rusak, dan sudah terendam air yang perlahan masuk akibat kapal bocor," tutur Intan kepada FAJAR, Jumat 24 Januari kemarin.

Melihat Aktivitas Cera Tasi di Pelabuhan Kassi, Kajang

armada kapal nelayan
Ritual Accera Tasi, dengan menenggelamkan sesajen di laut, menjadi cara para nelayan di Kecamatan Kajang, untuk bersyukur. Ritual tersebut dipercaya menolak bala, dan melanggengkan rezeki para nelayan di lautan.

Perairan sekitar pelabuhan Kassi, Kecamatan Kajang, menjadi ramai oleh kapal-kapal nelayan, Minggu 19 Januari 2014 lalu. Lebih dari 20 kapal nelayan dari pelabuhan kassi, berarak menuju tanjung Ujung Labbu, sekira satu mil ke arah selatan pelabuhan kassi.

Di dalam salah satu kapal nelayan yang mengangkut sesajen, dalam perjalanan ke tanjung itu, beberapa orang menabuh gendang, dan memukul gong. Tepat di ujung tanjung, sesajen ditenggelamkan ke dalam laut.

Cuaca terik, siang itu, tidak menyurutkan antusias para warga yang ikut berlayar melihat ritual bernama "accera' tasi" itu. Dalam ritual tersebut, warga menenggelamkan sesajen yang berupa songkolo (nasi dari beras ketan yang dikukus), pisang, dan jenis buah lainnya.

Minggu, 26 Januari 2014

Keluarga Ikhlaskan Kepergian Sugiarto

Delapan Kali Daftar TNI

IKHLAS. Syamsiah, menabur bunga di atas pusara putranya, Pratu Sugiarto yang tewas dalam peristiwa penembakan antara TNI dengan OPM di Papua, Jumat 25 Januari lalu.


Pratu Sugiarto

AWAN mendung menyelimuti proses pemakaman jenazah tentara asal Bulukumba yang tewas dalam peristiwa baku tembak antara TNI dan OPM Papua, Pratu Sugiarto, di taman makam pahlawan Bulukumba, Sabtu 25 Januari. Dalam prosesi pemakaman secara militer yang diikuti warga dan kerabat itu, keluarga Sugiarto ikhlas. Orang tuanya berharap, semangat perjuangan putranya tetap hidup bersama prajurit TNI yang berjuang di Papua.

"Anakku tidak mati. Dia tetap hidup bersama teman-temannya di militer," ujar Hj Syamsiah, 59 usai pemakaman putranya Pratu Sugiarto di taman makam pahlawan Bulukumba, kemarin. Hari itu, dengan isakan tangis, Syamsiah mulai sadar dan ikhlas dengan kepergian Sugiarto, yang tewas ditembak kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Kemarin, usai pemakaman yang dilaksanakan secara militer itu, Syamsiah memeluk dua teman Sugiarto yang mengantar jenazahnya ke Bulukumba, dan memintanya menghidupkan anaknya dalam dirinya, dan teman-temannya di militer.

Selasa, 21 Januari 2014

Politik Pencitraan Itu Tidak Ada

www.pajak.co.id
www.pajak.co.id
Isu politik pencitraan akhir-akhir ini ramai, dan terus didengungkan. Karena isu politik pencitraan ini pula, beberapa tokoh pemimpin berprestasi yang belakangan muncul dengan citranya yang melejit, diserang dengan tudingan "politik pencitraan" itu.

Saya sendiri sebenarnya masih bingung, betulkah sesuatu yang bernama "politik pencitraan" itu benar-benar ada? Kita memang hanya mengenal kata "citra", sebagai kata dasar pencitraan.

Pak Soleh Gratiskan Buburnya untuk Korban Banjir

Bak kisah di sinetron, tukang bubur merasa iba dengan korban banjir.


Soleh, tukang bubur yang menggratiskan dagangannya
 untuk korban banjir (VIVAnews/Tommy Adi Wibowo)
VIVAnews - Di televisi ada sebuah sinetron berjudul 'Tukang Bubur Naik Haji', yang bercerita tentang kisah seorang tukang bubur yang berhati sangat muliat dan gemar membantu orang lain. Ternyata, sosok yang memiliki kepribadian seperti itu hadir di dunia nyata. Dia adalah Soleh, tukang bubur yang biasa berjualan di Perumahan Ciledug Indah 1 dan 2, Jakarta Barat.

Hari ini, Minggu 19 Januari 2014, Soleh menggratiskan dagangan buburnya untuk para korban banjir di Perumahan Ciledug Indah 1 dan 2. Semua warga yang sebagian besar adalah korban banjir boleh menyantap buburnya secara gratis alias tanpa membayar sepeser pun.

Senin, 20 Januari 2014

Kasuso, Kampung Perempuan yang Indah



pemandangan pantai dusun kasuso

Dijuluki kampung perempuan, karena sulit menemukan kaum lelaki di kampung tersebut. Namanya Kasuso, sebuah dusun di Desa Darubiah, Kecamatan Bontobahari. Di kampung pesisir yang eksotik itu, para lelaki keluar mengarungi lautan untuk menjadi buruh kapal, nelayan, hingga juragan kapal. Para perempuan yang ditinggal, banyak mengisi waktunya dengan menenum. Menariknya, kampung dengan pasir putih dan pemandangan yang indah ini nyaris tak tersentuh kesan lokasi industri wisata yang komersil, apalagi hiburan malam. Warganya yang agamis, selalu menolak.

Letaknya sekira lima kilometer sebelum pantai wisata tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba. Mengunjungi Kasuso, salah satu kampung di Desa Darubiah, Kecamatan Bontobahari tersebut, saya harus melewati jalan sempit yang berliku, menanjak, dan menurun tajam di sisi tebing gunung. Jalan tersebut membelah hutan yang dirimbuni pohon-pohon tua yang besar, dan belukar semak. Ada beberapa gua yang menganga ditemukan di sisi jalan.

Di kampung yang terletak di pesisir pantai tersebut, kompleks rumah warga terlihat padat. Sebagian besar adalah rumah panggung terbuat dari kayu. Kampung ini ramai oleh anak-anak, yang bermain di jalan-jalan kampung. Para perempuan banyak terlihat di beranda, kolong dan tangga rumah. Namun, sebagian besar mereka terlihat sedang mengerjakan aktivitas rutinnya: menenun kain sarung.

perempuan menenun
Saya menemui Junaedah, 40 tahun, seorang istri yang ditinggal suaminya sejak 25 tahun lalu. Junaedah sudah punya tiga orang anak, dan punya beberapa cucu. Saya menemui perempuan ini saat sedang sibuk menenun kain sarung, dengan motif khas Samarinda, Sabtu 24 Agustus 2013 lalu. Dua orang anak laki-lakinya yang dewasa kini sudah menjadi anak buah kapal (ABK).

Sabtu, 18 Januari 2014

Benarkah AlQur’an Menganjurkan Poligami?


وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (QS Annisa: 3) 

“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang senang (rela) kamu nikahi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil juga, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Saya ingin berbagi sedikit tentang salah satu kaidah ilmu nahwu (gramatikal bahasa arab), yakni Jumlah Jawabussyarthiyah (kalimat jawaban bersyarat). Saya bukan ahlinya. Hanya secara kebetulan tahu sedikit tentang ini, saat mengenyam pendidikan agama, dulu. Pembahasan ini saya kira menjadi penting untuk saya tuliskan, untuk setidaknya menyinggung penceramah yang menjelaskan ayat secara sepotong, tanpa melihat jelas konteks dan pembicaraan ayat AlQur’an itu.

Jumlah Jawab Syarthiyah, ( جملة جواب الشّرطيّلة), mungkin adalah salah satu jenis klausa. Klausa yang tidak bisa berdiri sendiri. Sebuah klausa yang berdiri dengan menjadi “jawaban bersyarat” atas klausa sebelumnya. Sebab, jika tak disebutkan, kalimat pasti akan rancuh. Mungkin ahli bahasa arab yang kebetulan membaca artikel ini bisa menambahkan jika masih ada yang kurang. Tafaddal!

Kisah Pengemis Buta

Di sudut pasar Madinah ada seorang pengemis Yahudi buta yang setiap harinya selalu berkata kepada setiap orang yang mendekatinya, Wahai saudaraku, jangan dekati Muhammad, dia itu orang gila, dia itu pembohong, dia itu tukang sihir, apabila kalian mendekatinya maka kalian akan dipengaruhinya.

Namun, setiap pagi Muhammad Rasulullah SAW mendatanginya dengan membawakan makanan, dan tanpa berucap sepatah kata pun Rasulullah SAW menyuapkan makanan yang dibawanya kepada pengemis itu sedangkan pengemis itu tidak mengetahui bahwa yang menyuapinya itu adalah Rasulullah SAW. Rasulullah SAW melakukan hal ini setiap hari sampai beliau wafat.

Sedikit Materi Dasar Tentang Menulis Berita yang Menarik




BEBERAPA orang mengibaratkan belajar menulis itu seperti belajar berenang atau mengendarai sepeda. Terkadang teorinya tidak penting untuk dipelajari. Anda tinggal “nyemplung” ke kolam, merasakan riak permukaan air, dan membuat tubuh terbiasa dan beradaptasi dengan sifat dasar air. Anda bahkan bisa berenang, menyelam, meskipun anda tetap tidak tahu menjelaskan secara detil, bagaimana anda bisa melakukannya.
            Mengemudikan sepeda juga tak butuh teori. Anda misalnya hanya sering bersepeda, melatih keseimbangan saat meniti jalan sambil mengayuh pedalnya, dan membiarkan insting dan tubuh anda beradaptasi dengan sifat dasar sebuah sepeda itu.
            Kesamaan paling penting dari dua hal tersebut, adalah, dibutuhkannya kesabaran dan ketekunan untuk mencobanya. Seorang jurnalis harus punya kemauan untuk selalu belajar dan memperbaiki penulisan berita secara terus menerus.

Mendambakan Muballigh yang Santun


Syahdan, tersebutlah sebuah perkampungan terpencil di jazirah Arab yang nyaris tak tersentuh, dan jauh dari pemukiman masyarakat banyak. Keberadaannya juga nyaris tak tersentuh syiar dan kunjungan para muballig. Meski begitu, masyarakatnya adalah penganut Islam yang taat. Mereka salat, mengaji, puasa, dan menjalankan ibadah sebagaimana yang dituntunkan ajaran Agama Islam.

Namun, ada sesuatu yang ganjil dengan tradisi beribadah di kampung ini. Hampir semua masyarakatnya memang secara rutin melakukan salat berjamaah di masjid. Namun, ketika berangkat, semuanya membawa sebuah timba. Masing-masing mereka memperlakukan benda itu dengan baik, memuliakannya, dan meletakkannya di samping kanan mereka ketika salat.

Di dalam masjid, usai salat Subuh, mereka secara rutin menyimak tausiyah seorang Syekh yang sudah sangat dituakan. Di kampung itu, Syekh tersebut adalah satu-satunya ulama. Konon, puluhan tahun lalu, Sang Syekh itu datang dari negeri yang jauh, membawa AlQur’an dan kitab-kitab sunnah, menggelar halaqah, dan mencerahkan masyarakat yang sebelumnya penganut ajaran animisme itu.

Cerita Saya dan Mahfud MD

"Kesenangan itu jika diteruskan, bisa menjadi kesewenang-wenangan…"
Mah­fud MD


 Ungkapan ini disampaikan Mahfud, untuk menjawab pertanyaan mengapa memilih tidak melanjutkan kariernya di Mahkamah Konstitusi (MK) RI, dalam talkshow “Mencari Pemimpin Bernyali” Mata Najwa di Baruga Universitas Hasanuddin, 21 Desember 2012 lalu. Dia rupanya memilih menggantung palu, setelah masa jabatannya berakhir, 4 April 2013 mendatang. Melalui ungkapan itu, dia secara tersirat menegaskan, kursi kepemimpinan itu memang menyenangkan, sekaligus berbahaya, dan berpotensi membuat orang yang mendudukinya lupa diri, kalap, bahkan serakah, jika terus dipertahankan.

Mahfud memilih berhenti di saat kariernya sebagai hakim konstitusi sedang mencapai klimaksnya. Seperti menunaikan anjuran makan dalam ajaran agama, dia berhenti sebelum “kenyang.” Itu poin pentingnya.
Dia mungkin paham betul, arti dan filosofi sebuah kepemimpinan. Tentang candu yang selalu melekat dan mengiringi jalannya proses sang pemimpin. Candu yang akan merajalela, kelak, jika jabatan itu terus dipegang.

Bagi saya, Mahfud lebih dari sekadar hakim yang hanya paham persoalan-persoalan hukum dan etika. Dia juga politikus andal. Saya mengenal Mahfud MD melalui banyak pernyataannya yang kerap dianggap kontroversial, blak-blakan, tapi masuk akal. Pernyataan dan keputusannya selalu muncul sebagai sebuah pukulan telak, yang memecah segala kebuntuan, dan menjadi solusi yang paling tepat, di tengah kegagapan berbagai spekulasi dan asumsi yang sarat kepentingan.

Kondom Sang Raja


SYAHDAN, di sebuah negeri antah berantah, tersebutlah seorang raja dan perdana menterinya yang pusing tujuh keliling dengan tingkah rakyatnya. Setiap hari dia dibuat bingung oleh kabar dan laporan intelijennya tentang semakin banyaknya praktik seks bebas di negerinya.

Sebenarnya seks bebas tidak dilarang. Namun, seks bebas itu menjadi biang banyaknya rakyat tertular wabah penyakit HIV-AIDS. Para hakim di negerinya juga bikin bingung. Hakim-hakim rajin berdemonstrasi menuntut kenaikan gaji. Musababnya adalah jadwal kerja mereka semakin panjang dan padat. Itu gara-gara semakin banyak perkara tindak pidana lupa memakai kondom (TPLMK) yang harus mereka sidangkan.

Jumat, 05 Oktober 2012

Belajar “Beragama” di Toraja



Tulisan ini saya buat saat kembali dari Toraja, bulan Ramadan lalu (1423 H). Saya untuk pertama kalinya ke sana, dan merasakan pengalaman yang berkesan. Sebuah tradisi kerukunan, kekeluargaan, dan gotong royong. Saya tambah terkesan, ketika melihat, tradisi itu justru dikuatkan oleh nilai-nilai keagamaan yang dianut secara berbeda-beda oleh setiap kalangan masyarakat, bahkan di dalam satu keluarga. Masyarakat di sana seperti menepis stigma buruk tentang konflik yang sering dipicu oleh perbedaan agama dan kepercayaan. Mereka sekaligus menegaskan makna Agama yang sesungguhnya (a: tidak ada, gama: kekacauan)

Gadis di Toraja (TAWAKKAL/FAJAR)
Suatu subuh, di tengah Kota Makale, Kamis 2 Agustus lalu. Di pusat kota Kabupaten Tana Toraja itu, puluhan masyarakat muslim berbondong-bondong keluar dari Masjid Raya Makale usai menunaikan salat subuh. Di tengah Kota. Tepatnya di tepi kolam besar, yang ditengahnya berdiri patung Lakipadada, legenda Tana Toraja. Fajar kemudian mulai merekah, lalu suara-suara wirid dan doa yang didengungkan masjid-masjid, kemudian berganti dengan dendang lagu-lagu rohani Kristiani dari salah satu gereja di pusat kota. Lagu itu terdengar dari salah satu gereja besar di tengah Kota itu. Namanya Sion, milik jamaah protestan. Gereja itu berada di kawasan pebukitan, sekitar 800 meter arah utara Masjid Raya Tana Toraja.
YA, suasana keberagaman umat memang sangat terasa di Kota Makale. Tak jauh dari perbatasan kota, rumah ibadah pertama yang kita ditemui adalah Masjid Raya. Tak jauh dari masjid, terdapat Gereja Pantekosta.

Di pusat kota, tepatnya di kolam besar Makale, jelas terasa, geraja berada di sekeliling. Di sebelah timur kolam, berdiri bangunan megah gereja Katolik. Tak jauh di sebelah barat kolam, berdiri Gereja Manggasa. Itu adalah suasana di kota. Di pelbagai wilayah pelosok, ditemukan banyak rumah masjid dan gereja yang berdiri berdampingan.

Tana Toraja berada di sekitar 350 kilometer dari Kota Makassar. Kawasan ini memang lebih dikenal sebagai lokasi pariwisata, dengan alam yang indah, sejuk dan budayanya yang khas.