BERSAMA ISTRI |
LAHIR sebagai putra prajurit TNI, dan mendapat tempaan hidup yang keras, membuat Bupati Bantaeng, Nurdin Abdullah, terdidik menjadi manusia mandiri. Nurdin tidak lahir dari laut yang tenang.
Suatu hari, di akhir-akhir 1970-an, Hj Nuraeni harus memboyong enam orang anaknya dari Pare-pare ke Makassar. Nuraeni memutuskan berjuang mencari nafkah di Kota Anging Mammiri, setelah bertahun-tahun menumpang di rumah keluarganya di Parepare. Rasa tidak enak dan membebani keluarga, adalah alasannya. Padahal, di Makassar, dia sebenarnya tidak tahu mau tinggal di mana.
Anak tertuanya, Nurdin Abdullah, saat itu, masih sedang duduk di bangku SMPN 4 Parepare. Sementara, suaminya, Haji Andi Abdullah, sedang bertugas sebagai Komandan Rayon Militer (Danramil) di Soppeng. Nuraeni harus menghidupi enam anaknya dengan penghasilan pas-pasan. Perempuan ini berjualan, hingga usaha katering mahasiswa, di bilangan Jalan Bandang, kala itu.
Sebagai anak sulung, Nurdin punya tekad yang kuat. Dia ingin membahagiakan ibunya. Nurdin kembali ke Parepare melanjutkan SMP, sambil bekerja. Di Kota itu, Nurdin secara rutin harus pukul 04.00 dini hari, lalu berjalan kaki ke sekolah yang jauhnya lima kilometer.
Pulang sekolah, dia mengepel lantai, dan mengelap jendela sekolah, hingga menjadi tukang pekerja taman. "Upahnya lumayan, cukup untuk membiayai sekolah, dan hidup mandiri," cerita Nurdin Abdullah, saat ditemui di Kantor Hakata Tour and Travel, Jalan Penghibur, Rabu malam, 11 Juni lalu. Demi cita-cita membahagiakan ibunya, Nurdin terus melanjutkan sekolahnya ke SMAN 5 Makassar, sambil kerja. Nurdin bahkan pernah berjualan batu merah. Nurdin menceritakan, ada satu penganan favorit yang kerap jadi bekal orang tuanya saat ke Parepare, yakni Putu Pesse.