Jumat, 05 Oktober 2012

Belajar “Beragama” di Toraja



Tulisan ini saya buat saat kembali dari Toraja, bulan Ramadan lalu (1423 H). Saya untuk pertama kalinya ke sana, dan merasakan pengalaman yang berkesan. Sebuah tradisi kerukunan, kekeluargaan, dan gotong royong. Saya tambah terkesan, ketika melihat, tradisi itu justru dikuatkan oleh nilai-nilai keagamaan yang dianut secara berbeda-beda oleh setiap kalangan masyarakat, bahkan di dalam satu keluarga. Masyarakat di sana seperti menepis stigma buruk tentang konflik yang sering dipicu oleh perbedaan agama dan kepercayaan. Mereka sekaligus menegaskan makna Agama yang sesungguhnya (a: tidak ada, gama: kekacauan)

Gadis di Toraja (TAWAKKAL/FAJAR)
Suatu subuh, di tengah Kota Makale, Kamis 2 Agustus lalu. Di pusat kota Kabupaten Tana Toraja itu, puluhan masyarakat muslim berbondong-bondong keluar dari Masjid Raya Makale usai menunaikan salat subuh. Di tengah Kota. Tepatnya di tepi kolam besar, yang ditengahnya berdiri patung Lakipadada, legenda Tana Toraja. Fajar kemudian mulai merekah, lalu suara-suara wirid dan doa yang didengungkan masjid-masjid, kemudian berganti dengan dendang lagu-lagu rohani Kristiani dari salah satu gereja di pusat kota. Lagu itu terdengar dari salah satu gereja besar di tengah Kota itu. Namanya Sion, milik jamaah protestan. Gereja itu berada di kawasan pebukitan, sekitar 800 meter arah utara Masjid Raya Tana Toraja.
YA, suasana keberagaman umat memang sangat terasa di Kota Makale. Tak jauh dari perbatasan kota, rumah ibadah pertama yang kita ditemui adalah Masjid Raya. Tak jauh dari masjid, terdapat Gereja Pantekosta.

Di pusat kota, tepatnya di kolam besar Makale, jelas terasa, geraja berada di sekeliling. Di sebelah timur kolam, berdiri bangunan megah gereja Katolik. Tak jauh di sebelah barat kolam, berdiri Gereja Manggasa. Itu adalah suasana di kota. Di pelbagai wilayah pelosok, ditemukan banyak rumah masjid dan gereja yang berdiri berdampingan.

Tana Toraja berada di sekitar 350 kilometer dari Kota Makassar. Kawasan ini memang lebih dikenal sebagai lokasi pariwisata, dengan alam yang indah, sejuk dan budayanya yang khas.




Toraja yang terdiri dari Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara itu, memiliki lebih dari 280 ribu penduduk dengan lima agama yang berkembang. Kementerian Agama Tana Toraja, yang juga membawahi Kabupaten Toraja Utara, mencatat, tahun 2011 mayoritas penduduk kedua kabupaten ini menganut agama Kristen. Jumlahnya 190.858 orang, 64,63 persen dari seluruh penduduk.

Sebanyak 49.967 orang penduduk Toraja, menganut agama Katolik, atau 18,84 persen, Agama Islam 31.854 orang atau 12,78 persen, Aluk To Dolo (Hindu, red) 9.572 orang, dan Alutta (Budha) sebanyak 19 orang atau 0,01 persen.

Pertumbuhan umat beragama juga cukup besar. Di tahun ini, terdaftar sebanyak 159 unit masjid di Tana Toraja, dan Toraja Utara, yang tersebar di setiap desa dan kecamatan. Jumlah gereja lebih banyak. gereja Katolik di dua kabupaten tersebut berjumlah 360 lebih, dan gereja Kristen mencapai lebih dari ribuan.
Ada beberapa hal menarik yang menjadi catatan di tanah berjuluk “Tondok Lepongan Bulan, Tanah Matarik Allo” (tanah bulat seperti matahari dan bulan) ini. Dalam kurun waktu puluhan tahun terakhir, hampir tidak ada pertikaian antarpemeluk agama. Bahkan di saat rusuh dan perang berkecamuk di beberapa wilayah, seperti Poso dan Ambon, beberapa tahun silam.

"Waktu rusuh di Ambon dan Poso, termasuk maraknya pemboman beberapa tahun lalu, kita sempat mengkhawatirkan itu ikut terjadi di Toraja. Makanya, pemerintah, aparat keamanan, tokoh agama dan masyarakat di Toraja berkumpul. Kita bentuk tim khusus untuk menjaga di rumah-rumah ibadah, yang terdiri dari pemerintah polisi, dan kelompok-kelompok masyarakat. Polisi termasuk masyarakat yang Islam berjaga-jaga di Gereja, di saat umat Kristen beribadah. Begitu juga sebaliknya. Polisi dan warga Kristen juga berjaga-jaga di Masjid," kata Pelaksana Tugas Kepala Kementerian Agama Tana Toraja, Arifuddin.
Penjagaan silang tersebut terus berlangsung. Hingga sekarang, meskipun tanpa diinstruksi, selalu banyak warga Katolik dan Kristen yang sering kumpul dan bercengkerama di depan beberapa masjid, saat ibadah salat tarawih.

Masjid di samping Tongkonan (TAWAKKAL/FAJAR)


Menurut Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tana Toraja, Herman Tahir, masyarakat di Toraja secara umum telah memahami betapa pentingnya kerukunan antarumat beragama. "Meskipun, memang ada segelintir orang yang masih menyebar isu SARA, namun persentasenya tidak besar. Hanya person-person tertentu, yang susah untuk muncul di permukaan dan di tengah masyarakat, karena tidak diterima," katanya.

Herman menjelaskan, Toraja memiliki kearifan lokal yang terus dijaga masyarakatnya. Kearifan lokal tersebut membuat perbedaan menjadi tidak dipersoalkan. Sebagian besar orang Toraja bahkan tidak mempermasalahkan keluarganya yang berpindah agama. "Asalkan, bisa konsisten dan tidak mempermainkan agama. Yang terpenting, budaya untuk saling menghormati sebagai salah satu isi kearifan lokal itu, terus dijaga," kata Herman.

Dia menjelaskan, perbedaan agama di Toraja bukan hanya terjadi sampai di tingkat satu kampung. "Perbedaan agama terjadi sampai di dalam rumah tangga, dalam satu keluarga. Ada keluarga yang orang tuanya menganut kepercayaan Aluk To Dolo, sebagian anaknya menganut Kristen, dan yang lain menganut Islam. Dan itu tidak dipermasalahkan," kata dia.

Arifuddin menambahkan, agama-agama di Toraja memang selama ini selalu didorong untuk memberi pemahaman tentang penghargaan terhadap agama lain. Ajaran-ajaran satu agama tentang hidup rukun, menurut dia, punya kesamaan dengan agama lain, dan menguatkan tradisi warga Toraja.

Agama Katolik misalnya. Kepala Penyuluh Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Tana Toraja, Matius Patumba, menjelaskan, Katolik memberikan pemahaman tentang kebenaran yang selalu ada di setiap ajaran agama.

"Karena itu, persoalan pindah agama selalu tidak dipermasalahkan. Itu hak setiap orang, untuk bisa menentukan keyakinannya. Yang terpenting, mereka bisa konsisten," kata Matius. (*)

***

Jejak Syiar Islam

SUATU siang, Jumat, 1959, empat orang lelaki dengan berani memugar satu masjid di sebelah selatan kota Makale. Suasana hari itu cukup mencekam. Untuk bisa memugar masjid yang sudah lama tak terjamah itu, mereka harus menenteng senjata. Selang beberapa waktu kemudian, azan pun dikumandangkan Syahrie Rante, satu dari empat lelaki itu.

Lelaki lainnnya, Lomo Makka, bertindak sebagai khatib, sekaligus menjadi Imam. Lelaki lain, Bahrun Nur, dan Andi Azis Taba, menjadi Makmum. Lomo adalah lelaki paling berani saat itu. Maklum, dia adalah salah satu bekas anggota DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), yang baru keluar dari hutan.

"Dia keluar setelah terdengar kabar, Kahar Muzakkar, pimpinannya, tewas ditembak. Lomo yang baca khutbah waktu itu juga harus pegang senjata," kenang Syahrie Rante, 72 tahun, Kamis, 2 Agustus.
Tokoh NU itu menuturkan, hari itu adalah peristiwa penting dalam hidupnya, di mana untuk pertama kalinya mereka menggelar salat Jumat di masjid, secara terang-terangan, setelah beberapa tahun berlalu. Hari berganti hari, dan jemaah terus bertambah di Jumat-jumat berikutnya.

"Jemaah kemudian bertambah menjadi tujuh orang, dan minggu selanjutnya, bertambah lagi. Masjid itu sekarang menjadi Masjid Raya Makale," tutur Syahrie.

Menurut dia, banyak orang-orang muslim saat itu yang sebelumnya sembunyi-sembunyi, lalu keluar dari persembunyiannya, dan ikut bergabung salat. Dia menuturkan, di beberapa tempat lain di Toraja, beberapa kelompok juga melakukan hal yang sama. Memugar masjid yang sebelumnya vakum bertahun-tahun.

Peperangan di Toraja berkecamuk di sekitar tahun 1940 sampai penghujung 1959, setelah penjajahan Belanda. Perang itu melibatkan Rakyat Toraja Penganut Agama Aluk To Dolo, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Barisan Tani Indonesia (BTI), hingga Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan membuat banyak warga komunis dan muslim di Toraja harus bersembunyi, bahkan mengungsi keluar dari Toraja. Perang itu terjadi di berbagai titik, seperti Sangala, Rantepao, dan Makale. Banyak pemicu yang membuat perang pasca penjajahan Belanda tersebut berkecamuk.

"Di wilayah Makale, misalnya, terjadi perseteruan antara Andi Sose pimpinan TNI di wilayah Enrekang dan Toraja, berseteru dengan Andi Lolo, bangsawan Toraja yang beragama Aluk To Dolo. Waktu itu, Toraja masih didominasi masyarakat beragama Aluk To Dolo," katanya. “Saya sendiri pernah ditahan sampai tiga malam," kata Syahrie. 

Menurut salah satu tokoh Toraja, Dahlan Bangapadang, perang yang terjadi di Toraja saat itu sesungguhnya bukan perang agama. "Perang itu hanya dipicu perseteruan antarkelompok dan orang tertentu, yang akhirnya ikut membawa nama agama," kata Lurah Marinding, Kecamatan Mangkendek tersebut.
Syahrie menjelaskan, Islam sesungguhnya berkembang pesat di masa penjajahan Belanda, sampai sekitar tahun 1955. "Waktu Pemilihan Umum tahun 1955, partai Islam Masyumi sempat memperoleh suara yang dominan di Toraja," kata Syahrie.

Bangsawan Toraja sebenarnya hanya memburu masyarakat yang tergabung BTI. "Sebetulnya banyak orang muslim, tapi karena tidak terkait dengan BTI dengan DI/TII, mereka tidak diburu," kata dia.
Menurut Dahlan, cukup banyak rakyat Toraja yang terlibat BTI, dan diburu. Mereka terdiri dari para petani, maupun rakyat kecil, yang menganut paham komunis, dan Aluk To Dolo. Mereka kemudian menganut Islam setelah melarikan diri ke hutan, dan bergabung dengan DI/TII. 

Mereka lalu kembali ke desa-desa, dan mengajarkan Islam setelah perang berangsur pulih, di pengujung tahun 1959. Mereka kembali ke beberapa wilayah yang sekarang memiliki penduduk muslim yang banyak, seperti Kecamatan Mengkendek, dan Minanga. Dahlan menjelaskan, itu adalah awal Islam mulai kembali berkembang.

***

ibadah (TAWAKKAL/FAJAR)

Berkat Perang Kopi dan Pernikahan

ISLAM di Toraja tidak tersebar dengan gerakan penyebaran yang dilakukan sejumlah ulama. Islam tersebar dengan sendirinya, melalui pernikahan, dan perdagangan yang banyak dilakukan saudagar Bugis Islam dan Palopo.

"Cikal bakalnya di awal abad 18 silam. Waktu itu, ada salah satu putri keturunan Raja Sangalla, kawin dengan putra Raja Palopo Selatan yang beragama Islam. Akhirnya, melahirkan anak yang Islam, dan banyak memiliki keturunan," kata dia.

Islam juga menyebar saat terjadi perang Kopi di Toraja. "Sebelum penjajahan, terjadi perebutan saham perdagangan antara raja-raja Palopo, raja Luwu dan Bugis, terkait komoditas kopi. Banyak saudagar-saudagar muslim yang masuk ke Toraja saat itu. Sehingga, secara tak langsung mereka menyebarkan agama Islam, dan kawin dengan orang-orang Toraja," kata dia.

Tokoh Muslim lainnya, Herman Tahir, menambahkan, di tahun 1936, Ormas Islam Muhammadiyah mulai masuk dan menyebarkan Islam melalui pembangunan sekolah-sekolah. "Kita pertama membangun sekolah SMP Muhammadiyah di Rantepao, tahun itu. SMP itu menerima semua kalangan, termasuk non muslim," kata dia.

Herman menjelaskan, sekolah tersebut banyak menciptakan pemuda-pemuda Islam, dan membangun nilai kejuangan hizbul watan. Sekolah itu kemudian menjadi cikal bakal lahirnya pejuang-pejuang muslim yang melawan penjajah Belanda. "Pejuang-pejuang itu mewarnai sejarah perjuangan di Toraja. Mereka antara lain, Musa, Gani, Tjora Makkawaru, Lebang, Ichwan Rombe, dan beberapa pejuang lain," kata Herman.

***

Rumah Ibadah Jadi Milik Bersama

KERUKUNAN Umat beragama di Tana Toraja dan Toraja Utara, bisa terlihat dari rumah-rumah ibadah yang tumbuh dengan baik. Sejumlah gereja, selain dibangun oleh jemaatnya, juga atas partisipasi masyarakat sekitar, bahkan oleh masyarakat Muslim. Demikian halnya dengan pembangunan masjid. 

warga muslim Toraja sedang berbuka puasar di salah satu masjid (TAWAKKAL/FAJAR)


Contohnya adalah Masjid Raya Makale. Masjid yang terletak tak jauh dari batas masuk kota Makale tersebut, sedang dalam proses renovasi. Menurut Imam Masjid Raya, Gazali, renovasi masjid mendapat bantuan dari berbagai pihak.

"Renovasinya sudah berjalan satu tahun, dan selama ini, sudah cukup banyak bantuan yang datang. Termasuk di antaranya bantuan dari dua bakal calon Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo dan Ilham Arief Sirajuddin," katanya.

Menariknya, ada beberapa nonmuslim yang ikut membantu renovasinya. "Misalnya, pinjaman lift untuk mengecor dari seorang pengusaha kristen Tionghoa, namanya A Song," katanya.

Nama lain yang ikut membantu pembangunannya adalah, Paul Aming, pengusaha Katolik yang menyumbang toak atau corong suara, dana pembeli mesin sumur bor, dan lampu hias.

"Pak Paul cuma meminta, ada keran air yang disiapkan di luar, untuk menjadi fasilitas umum," kata Gazali. Beberapa warga nonmuslim lainnya, ikut membantu menyediakan konsumsi dan air minum pekerja.
Selain itu, kata dia, ada juga pengusaha kerikil yang nonmuslim, yang memberi kemudahan, dengan menjual material bahan bangunan dengan harga terjangkau. "Sebelumnya, kita memberi pasir dan kerikil itu jauh di luar kota. Bahkan sampai di Sidrap. Tapi, pengusaha itu menawarkan bahan materialnya, yang harganya sama dengan harga bahan yang kita beli di sana," tambah Gazali.

Di Kelurahan Manggau, Kecamatan Makale, juga ada satu musala yang dibangun atas partisipasi masyarakat Kristen. "Namanya Musala Nurul Ikhwan. Waktu penimbunan kemarin, pendeta setempat memberi rekomendasi kepada Jamaatnya, untuk ramai-ramai melakukan penimbunan. Mereka terlibat menyumbang tenaga," kata Nasri, ketua panitia pembangunan masjid tersebut.

Beberapa gereja yang dibangun, ikut mendapat partisipasi dari orang-orang muslim di sekitarnya. "Minimal, ikut membantu tenaga. Di sini, sudah menjadi tradisi masyarakat. Bila ada rumah ibadah yang dibangun di sekitar lingkungannya, mereka harus ikut membantu," kata Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tana Toraja, Herman Tahir.

Salah satu tokoh masyarakat Katolik, Matius Patumba, menambahkan, paham tentang rasa memiliki telah menjadi doktrin agama mereka. "Kita ditekankan, bahwa semua fasilitas umum adalah milik kita bersama. Jalanan, masjid, gereja, pasar semuanya harus dijaga. Semuanya adalah milik kita," ucapnya.

***

Pernikahan Islam Terbanyak di Mengkendek 

SAMPAI sekarang, perkawinan masih menjadi media paling diandalkan dalam penyebaran Islam di Toraja. Menurut Staf Urusan Agama Islam,  Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tana Toraja, Ismail, dalam kurun waktu tahun 2011 saja, terjadi 333 pernikahan Islam.

"Banyak di antaranya yang kawin, setelah salah satu pasangannya mualaf (masuk Islam, red)," kata Ismail. Pasalnya, kata dia, aturan baru Kementerian Agama kini tidak memperbolehkan pernikahan beda agama.
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Makale, Usman Senong, menambahkan, untuk Makale Selatan, Barat, dan Makale Kota, terdapat sekitar 10 orang yang mualaf dan melangsungkan pernikahan. "Rata-rata ada sepuluh orang. Setiap tahun, pernikahan antarumat Islam di sini rata-rata 40 sampai 50 per tahun," kata Usman, Kamis, 2 Agustus lalu.

Pernikahan antarumat Islam, kata dia, paling banyak terjadi di Kecamatan Mengkendek. "Jumlahnya mencapai 100 sampai 150 per tahun," kata dia. Di sepanjang tujuh tahun lalu, kata dia, hampir tidak ada 
masalah dengan pernikahan yang melibatkan muslim yang mualaf.

"Hanya ada sekitar dua orang yang pernah bermasalah, karena keluarganya tidak setuju. Meskipun, menurut aturan kami, warga yang sudah berumur 21 tahun itu telah diberi kebebasan untuk memilih agamanya. Meskipun tanpa persetujuan orang tua," kata dia.

Menurut dia, penyebaran Islam yang dilakukan sejumlah mubalig dan organisasi Islam masih minim di Toraja. "Jarang ada pembinaan di wilayah pelosok," kata Usman.

Salah satu pengurus BKPRMI, Dahlan, menambahkan, selama ini, aktivitas dakwah lebih banyak dilakukan sejumlah ormas seperti Jamaah Tabligh, Wahdah Islamiyah, Pemuda Anshar, dan beberap ormas lainnya. "Itu belum cukup, karena Syiar Islam itu butuh dana yang lebih banyak. Para tenaga mubalig juga harus didukung dengan biaya yang besar," kata dia.

*Untuk Harian FAJAR, edisi  5 Agustus 2011

1 komentar:

  1. Islam di toraja akan lebih dasiat perkembangannya... terutama melalui pernikahan.. dan kita bisa liat di beberapa daerah... dominan pria atau wanita jadi mualaf bila terjadi pernikahan.... bahkan di perantauan banyak wanita toraja jadi mualaf bila bertemu pria muslim saat menikah.

    BalasHapus

Terima kasih telah berkomentar...