Tulisan ini saya buat saat
kembali dari Toraja, bulan Ramadan lalu (1423 H). Saya untuk pertama kalinya ke
sana, dan merasakan pengalaman yang berkesan. Sebuah tradisi kerukunan,
kekeluargaan, dan gotong royong. Saya tambah terkesan, ketika melihat, tradisi
itu justru dikuatkan oleh nilai-nilai keagamaan yang dianut secara berbeda-beda
oleh setiap kalangan masyarakat, bahkan di dalam satu keluarga. Masyarakat di
sana seperti menepis stigma buruk tentang konflik yang sering dipicu oleh
perbedaan agama dan kepercayaan. Mereka sekaligus menegaskan makna Agama yang
sesungguhnya (a: tidak ada, gama: kekacauan)
Gadis di Toraja (TAWAKKAL/FAJAR) |
Suatu subuh, di tengah Kota Makale, Kamis 2 Agustus lalu. Di
pusat kota Kabupaten Tana Toraja itu, puluhan masyarakat muslim
berbondong-bondong keluar dari Masjid Raya Makale usai menunaikan salat subuh.
Di tengah Kota. Tepatnya di tepi kolam besar, yang ditengahnya berdiri patung
Lakipadada, legenda Tana Toraja. Fajar kemudian mulai merekah, lalu suara-suara
wirid dan doa yang didengungkan masjid-masjid, kemudian berganti dengan dendang
lagu-lagu rohani Kristiani dari salah satu gereja di pusat kota. Lagu itu
terdengar dari salah satu gereja besar di tengah Kota itu. Namanya Sion, milik
jamaah protestan. Gereja itu berada di kawasan pebukitan, sekitar 800 meter
arah utara Masjid Raya Tana Toraja.
YA, suasana keberagaman umat memang sangat terasa di Kota Makale.
Tak jauh dari perbatasan kota, rumah ibadah pertama yang kita ditemui adalah
Masjid Raya. Tak jauh dari masjid, terdapat Gereja Pantekosta.
Di pusat kota, tepatnya di kolam besar Makale, jelas terasa,
geraja berada di sekeliling. Di sebelah timur kolam, berdiri bangunan megah
gereja Katolik. Tak jauh di sebelah barat kolam, berdiri Gereja Manggasa. Itu
adalah suasana di kota. Di pelbagai wilayah pelosok, ditemukan banyak rumah
masjid dan gereja yang berdiri berdampingan.
Tana Toraja berada di sekitar 350 kilometer dari Kota Makassar.
Kawasan ini memang lebih dikenal sebagai lokasi pariwisata, dengan alam yang
indah, sejuk dan budayanya yang khas.
Toraja yang terdiri dari Kabupaten Tana Toraja dan Toraja Utara
itu, memiliki lebih dari 280 ribu penduduk dengan lima agama yang berkembang.
Kementerian Agama Tana Toraja, yang juga membawahi Kabupaten Toraja Utara,
mencatat, tahun 2011 mayoritas penduduk kedua kabupaten ini menganut agama
Kristen. Jumlahnya 190.858 orang, 64,63 persen dari seluruh penduduk.
Sebanyak 49.967 orang penduduk Toraja, menganut agama Katolik,
atau 18,84 persen, Agama Islam 31.854 orang atau 12,78 persen, Aluk To Dolo
(Hindu, red) 9.572 orang, dan Alutta (Budha) sebanyak 19 orang atau 0,01
persen.
Pertumbuhan umat beragama juga cukup besar. Di tahun ini,
terdaftar sebanyak 159 unit masjid di Tana Toraja, dan Toraja Utara, yang
tersebar di setiap desa dan kecamatan. Jumlah gereja lebih banyak. gereja
Katolik di dua kabupaten tersebut berjumlah 360 lebih, dan gereja Kristen
mencapai lebih dari ribuan.
Ada beberapa hal menarik yang menjadi catatan di tanah berjuluk “Tondok Lepongan Bulan, Tanah Matarik Allo”
(tanah bulat seperti matahari dan bulan) ini. Dalam kurun waktu puluhan tahun
terakhir, hampir tidak ada pertikaian antarpemeluk agama. Bahkan di saat rusuh
dan perang berkecamuk di beberapa wilayah, seperti Poso dan Ambon, beberapa
tahun silam.
"Waktu rusuh di Ambon dan Poso, termasuk maraknya pemboman
beberapa tahun lalu, kita sempat mengkhawatirkan itu ikut terjadi di Toraja.
Makanya, pemerintah, aparat keamanan, tokoh agama dan masyarakat di Toraja
berkumpul. Kita bentuk tim khusus untuk menjaga di rumah-rumah ibadah, yang
terdiri dari pemerintah polisi, dan kelompok-kelompok masyarakat. Polisi
termasuk masyarakat yang Islam berjaga-jaga di Gereja, di saat umat Kristen
beribadah. Begitu juga sebaliknya. Polisi dan warga Kristen juga berjaga-jaga
di Masjid," kata Pelaksana Tugas Kepala Kementerian Agama Tana Toraja,
Arifuddin.
Penjagaan silang tersebut terus berlangsung. Hingga sekarang,
meskipun tanpa diinstruksi, selalu banyak warga Katolik dan Kristen yang sering
kumpul dan bercengkerama di depan beberapa masjid, saat ibadah salat tarawih.
Masjid di samping Tongkonan (TAWAKKAL/FAJAR) |
Menurut Sekretaris Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tana
Toraja, Herman Tahir, masyarakat di Toraja secara umum telah memahami betapa
pentingnya kerukunan antarumat beragama. "Meskipun, memang ada segelintir
orang yang masih menyebar isu SARA, namun persentasenya tidak besar. Hanya
person-person tertentu, yang susah untuk muncul di permukaan dan di tengah
masyarakat, karena tidak diterima," katanya.
Herman menjelaskan, Toraja memiliki kearifan lokal yang terus
dijaga masyarakatnya. Kearifan lokal tersebut membuat perbedaan menjadi tidak
dipersoalkan. Sebagian besar orang Toraja bahkan tidak mempermasalahkan
keluarganya yang berpindah agama. "Asalkan, bisa konsisten dan tidak
mempermainkan agama. Yang terpenting, budaya untuk saling menghormati sebagai
salah satu isi kearifan lokal itu, terus dijaga," kata Herman.
Dia menjelaskan, perbedaan agama di Toraja bukan hanya terjadi sampai
di tingkat satu kampung. "Perbedaan agama terjadi sampai di dalam rumah
tangga, dalam satu keluarga. Ada keluarga yang orang tuanya menganut
kepercayaan Aluk To Dolo, sebagian anaknya menganut Kristen, dan yang lain
menganut Islam. Dan itu tidak dipermasalahkan," kata dia.
Arifuddin
menambahkan, agama-agama di Toraja memang selama ini selalu didorong untuk
memberi pemahaman tentang penghargaan terhadap agama lain. Ajaran-ajaran satu
agama tentang hidup rukun, menurut dia, punya kesamaan dengan agama lain, dan
menguatkan tradisi warga Toraja.
Agama Katolik
misalnya. Kepala Penyuluh Bimbingan Masyarakat Katolik Kementerian Agama Tana
Toraja, Matius Patumba, menjelaskan, Katolik memberikan pemahaman tentang
kebenaran yang selalu ada di setiap ajaran agama.
"Karena
itu, persoalan pindah agama selalu tidak dipermasalahkan. Itu hak setiap orang,
untuk bisa menentukan keyakinannya. Yang terpenting, mereka bisa
konsisten," kata Matius. (*)
***
Jejak Syiar Islam
SUATU siang, Jumat, 1959, empat orang lelaki dengan berani
memugar satu masjid di sebelah selatan kota Makale. Suasana hari itu cukup
mencekam. Untuk bisa memugar masjid yang sudah lama tak terjamah itu, mereka
harus menenteng senjata. Selang beberapa waktu kemudian, azan pun dikumandangkan
Syahrie Rante, satu dari empat lelaki itu.
Lelaki lainnnya, Lomo Makka, bertindak sebagai khatib, sekaligus
menjadi Imam. Lelaki lain, Bahrun Nur, dan Andi Azis Taba, menjadi Makmum. Lomo
adalah lelaki paling berani saat itu. Maklum, dia adalah salah satu bekas
anggota DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia), yang baru keluar dari
hutan.
"Dia keluar setelah terdengar kabar, Kahar Muzakkar,
pimpinannya, tewas ditembak. Lomo yang baca khutbah waktu itu juga harus pegang
senjata," kenang Syahrie Rante, 72 tahun, Kamis, 2 Agustus.
Tokoh NU itu menuturkan, hari itu adalah peristiwa penting dalam
hidupnya, di mana untuk pertama kalinya mereka menggelar salat Jumat di masjid,
secara terang-terangan, setelah beberapa tahun berlalu. Hari berganti hari, dan
jemaah terus bertambah di Jumat-jumat berikutnya.
"Jemaah kemudian bertambah menjadi tujuh orang, dan minggu
selanjutnya, bertambah lagi. Masjid itu sekarang menjadi Masjid Raya
Makale," tutur Syahrie.
Menurut dia, banyak orang-orang muslim saat itu yang sebelumnya
sembunyi-sembunyi, lalu keluar dari persembunyiannya, dan ikut bergabung salat.
Dia menuturkan, di beberapa tempat lain di Toraja, beberapa kelompok juga
melakukan hal yang sama. Memugar masjid yang sebelumnya vakum bertahun-tahun.
Peperangan di Toraja berkecamuk di sekitar tahun 1940 sampai
penghujung 1959, setelah penjajahan Belanda. Perang itu melibatkan Rakyat
Toraja Penganut Agama Aluk To Dolo, Tentara Nasional Indonesia (TNI), Barisan
Tani Indonesia (BTI), hingga Tentara Islam Indonesia (DI/TII), dan membuat
banyak warga komunis dan muslim di Toraja harus bersembunyi, bahkan mengungsi
keluar dari Toraja. Perang itu terjadi di berbagai titik, seperti Sangala,
Rantepao, dan Makale. Banyak pemicu yang membuat perang pasca penjajahan
Belanda tersebut berkecamuk.
"Di wilayah Makale, misalnya, terjadi perseteruan antara
Andi Sose pimpinan TNI di wilayah Enrekang dan Toraja, berseteru dengan Andi
Lolo, bangsawan Toraja yang beragama Aluk To Dolo. Waktu itu, Toraja masih didominasi
masyarakat beragama Aluk To Dolo," katanya. “Saya sendiri pernah ditahan sampai tiga malam," kata
Syahrie.
Menurut salah satu tokoh Toraja, Dahlan Bangapadang, perang yang
terjadi di Toraja saat itu sesungguhnya bukan perang agama. "Perang itu hanya
dipicu perseteruan antarkelompok dan orang tertentu, yang akhirnya ikut membawa
nama agama," kata Lurah Marinding, Kecamatan Mangkendek tersebut.
Syahrie menjelaskan, Islam sesungguhnya berkembang pesat di masa
penjajahan Belanda, sampai sekitar tahun 1955. "Waktu Pemilihan Umum tahun
1955, partai Islam Masyumi sempat memperoleh suara yang dominan di
Toraja," kata Syahrie.
Bangsawan Toraja sebenarnya hanya memburu masyarakat yang
tergabung BTI. "Sebetulnya banyak orang muslim, tapi karena tidak terkait
dengan BTI dengan DI/TII, mereka tidak diburu," kata dia.
Menurut Dahlan, cukup banyak rakyat Toraja yang terlibat BTI,
dan diburu. Mereka terdiri dari para petani, maupun rakyat kecil, yang menganut
paham komunis, dan Aluk To Dolo. Mereka kemudian menganut Islam setelah
melarikan diri ke hutan, dan bergabung dengan DI/TII.
Mereka lalu kembali ke desa-desa, dan mengajarkan Islam setelah
perang berangsur pulih, di pengujung tahun 1959. Mereka kembali ke beberapa
wilayah yang sekarang memiliki penduduk muslim yang banyak, seperti Kecamatan
Mengkendek, dan Minanga. Dahlan menjelaskan, itu adalah awal Islam mulai
kembali berkembang.
***
ibadah (TAWAKKAL/FAJAR) |
Berkat Perang Kopi dan Pernikahan
ISLAM di Toraja tidak tersebar dengan gerakan penyebaran yang
dilakukan sejumlah ulama. Islam tersebar dengan sendirinya, melalui pernikahan,
dan perdagangan yang banyak dilakukan saudagar Bugis Islam dan Palopo.
"Cikal bakalnya di awal abad 18 silam. Waktu itu, ada salah
satu putri keturunan Raja Sangalla, kawin dengan putra Raja Palopo Selatan yang
beragama Islam. Akhirnya, melahirkan anak yang Islam, dan banyak memiliki
keturunan," kata dia.
Islam juga menyebar saat terjadi perang Kopi di Toraja.
"Sebelum penjajahan, terjadi perebutan saham perdagangan antara raja-raja
Palopo, raja Luwu dan Bugis, terkait komoditas kopi. Banyak saudagar-saudagar
muslim yang masuk ke Toraja saat itu. Sehingga, secara tak langsung mereka
menyebarkan agama Islam, dan kawin dengan orang-orang Toraja," kata dia.
Tokoh Muslim lainnya, Herman Tahir, menambahkan, di tahun 1936,
Ormas Islam Muhammadiyah mulai masuk dan menyebarkan Islam melalui pembangunan
sekolah-sekolah. "Kita pertama membangun sekolah SMP Muhammadiyah di Rantepao,
tahun itu. SMP itu menerima semua kalangan, termasuk non muslim," kata
dia.
Herman menjelaskan, sekolah tersebut banyak menciptakan
pemuda-pemuda Islam, dan membangun nilai kejuangan hizbul watan. Sekolah itu
kemudian menjadi cikal bakal lahirnya pejuang-pejuang muslim yang melawan
penjajah Belanda. "Pejuang-pejuang itu mewarnai sejarah perjuangan di
Toraja. Mereka antara lain, Musa, Gani, Tjora Makkawaru, Lebang, Ichwan Rombe,
dan beberapa pejuang lain," kata Herman.
***
Rumah Ibadah Jadi Milik Bersama
KERUKUNAN Umat beragama di Tana Toraja dan Toraja Utara, bisa
terlihat dari rumah-rumah ibadah yang tumbuh dengan baik. Sejumlah gereja,
selain dibangun oleh jemaatnya, juga atas partisipasi masyarakat sekitar,
bahkan oleh masyarakat Muslim. Demikian halnya dengan pembangunan masjid.
warga muslim Toraja sedang berbuka puasar di salah satu masjid (TAWAKKAL/FAJAR) |
Contohnya adalah Masjid Raya Makale. Masjid yang terletak tak
jauh dari batas masuk kota Makale tersebut, sedang dalam proses renovasi.
Menurut Imam Masjid Raya, Gazali, renovasi masjid mendapat bantuan dari
berbagai pihak.
"Renovasinya sudah berjalan satu tahun, dan selama ini,
sudah cukup banyak bantuan yang datang. Termasuk di antaranya bantuan dari dua
bakal calon Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo dan Ilham Arief
Sirajuddin," katanya.
Menariknya, ada beberapa nonmuslim yang ikut membantu
renovasinya. "Misalnya, pinjaman lift untuk mengecor dari seorang
pengusaha kristen Tionghoa, namanya A Song," katanya.
Nama lain yang ikut membantu pembangunannya adalah, Paul Aming,
pengusaha Katolik yang menyumbang toak atau corong suara, dana pembeli mesin
sumur bor, dan lampu hias.
"Pak Paul cuma meminta, ada keran air yang disiapkan di
luar, untuk menjadi fasilitas umum," kata Gazali. Beberapa warga nonmuslim
lainnya, ikut membantu menyediakan konsumsi dan air minum pekerja.
Selain itu, kata dia, ada juga pengusaha kerikil yang nonmuslim,
yang memberi kemudahan, dengan menjual material bahan bangunan dengan harga
terjangkau. "Sebelumnya, kita memberi pasir dan kerikil itu jauh di luar
kota. Bahkan sampai di Sidrap. Tapi, pengusaha itu menawarkan bahan
materialnya, yang harganya sama dengan harga bahan yang kita beli di
sana," tambah Gazali.
Di Kelurahan Manggau, Kecamatan Makale, juga ada satu musala
yang dibangun atas partisipasi masyarakat Kristen. "Namanya Musala Nurul
Ikhwan. Waktu penimbunan kemarin, pendeta setempat memberi rekomendasi kepada
Jamaatnya, untuk ramai-ramai melakukan penimbunan. Mereka terlibat menyumbang
tenaga," kata Nasri, ketua panitia pembangunan masjid tersebut.
Beberapa gereja yang dibangun, ikut mendapat partisipasi dari
orang-orang muslim di sekitarnya. "Minimal, ikut membantu tenaga. Di sini,
sudah menjadi tradisi masyarakat. Bila ada rumah ibadah yang dibangun di
sekitar lingkungannya, mereka harus ikut membantu," kata Sekretaris Forum
Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Tana Toraja, Herman Tahir.
Salah satu tokoh masyarakat Katolik, Matius Patumba,
menambahkan, paham tentang rasa memiliki telah menjadi doktrin agama mereka.
"Kita ditekankan, bahwa semua fasilitas umum adalah milik kita bersama.
Jalanan, masjid, gereja, pasar semuanya harus dijaga. Semuanya adalah milik
kita," ucapnya.
***
Pernikahan Islam Terbanyak di Mengkendek
SAMPAI sekarang, perkawinan masih menjadi media paling
diandalkan dalam penyebaran Islam di Toraja. Menurut Staf Urusan Agama
Islam, Kantor Kementerian Agama
Kabupaten Tana Toraja, Ismail, dalam kurun waktu tahun 2011 saja, terjadi 333
pernikahan Islam.
"Banyak di antaranya yang kawin, setelah salah satu
pasangannya mualaf (masuk Islam, red)," kata Ismail. Pasalnya, kata dia,
aturan baru Kementerian Agama kini tidak memperbolehkan pernikahan beda agama.
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Makale, Usman Senong,
menambahkan, untuk Makale Selatan, Barat, dan Makale Kota, terdapat sekitar 10
orang yang mualaf dan melangsungkan pernikahan. "Rata-rata ada sepuluh
orang. Setiap tahun, pernikahan antarumat Islam di sini rata-rata 40 sampai 50
per tahun," kata Usman, Kamis, 2 Agustus lalu.
Pernikahan antarumat Islam, kata dia, paling banyak terjadi di
Kecamatan Mengkendek. "Jumlahnya mencapai 100 sampai 150 per tahun,"
kata dia. Di sepanjang tujuh tahun lalu, kata dia, hampir tidak ada
masalah
dengan pernikahan yang melibatkan muslim yang mualaf.
"Hanya ada sekitar dua orang yang pernah bermasalah, karena
keluarganya tidak setuju. Meskipun, menurut aturan kami, warga yang sudah
berumur 21 tahun itu telah diberi kebebasan untuk memilih agamanya. Meskipun
tanpa persetujuan orang tua," kata dia.
Menurut dia, penyebaran Islam yang dilakukan sejumlah mubalig
dan organisasi Islam masih minim di Toraja. "Jarang ada pembinaan di
wilayah pelosok," kata Usman.
Salah satu pengurus BKPRMI, Dahlan, menambahkan, selama ini,
aktivitas dakwah lebih banyak dilakukan sejumlah ormas seperti Jamaah Tabligh,
Wahdah Islamiyah, Pemuda Anshar, dan beberap ormas lainnya. "Itu belum
cukup, karena Syiar Islam itu butuh dana yang lebih banyak. Para tenaga mubalig
juga harus didukung dengan biaya yang besar," kata dia.
*Untuk Harian FAJAR, edisi 5 Agustus 2011
Islam di toraja akan lebih dasiat perkembangannya... terutama melalui pernikahan.. dan kita bisa liat di beberapa daerah... dominan pria atau wanita jadi mualaf bila terjadi pernikahan.... bahkan di perantauan banyak wanita toraja jadi mualaf bila bertemu pria muslim saat menikah.
BalasHapus