Rabu, 23 Maret 2011

Djirong Basang Daeng Ngewa, Ahli Lontara Bahasa Makassar yang Masih Tersisa (1)

Orang Makassar, termasuk beruntung. Sejumlah budaya, tradisi, dan rentetan cerita-cerita masa lalu, masih terekam hingga saat ini. Ia diselamatkan, dan diceritakan oleh sebuah manuskrip, yang disebut lontara. Namun, ironisnya, aksara ini semakin terlupakan. Ini  karena semakin langkanya ahli lontara Makassar, seperi Djirong Basang.

Nama Djirong Basang, sepertinya sudah tak terpisahkan lagi dari Lontara Makassar dan Sejumlah Karya Kesusastraan Bahasa Daerah.
    Saya mengunjungi Budayawan berusia 89 tahun ini di kediamannya, Perumahan Puri Taman Sari C6 Nomor 14, 4 Maret lalu. "Kalau diajak bicara, suaranya harus keras. Kalau kecil, biasa tidak didengar," kata Hj Asisah, 70, isteri Djirong Basang. Asisah menuturkan, sejak tiga bulan lalu, Daeng Ngewa, sebutan akrab Djirong, sudah mulai lamban berbicara, melangkah, dan mulai pikun. "Kalau sholat, bapak pakai kursi," tambahnya.
    Saat mewawancarai Daeng Ngewa, saya selalu hati-hati untuk menanyakan sesuatu yang membuat dia mengingat dan berpikir keras. Setiap kali ia lupa dan  tidak tahu menjawab pertanyaan, semampu mungkin ia berdiri, dan melangkah gontai menuju lemari bukunya. Ia tampak bersemangat memperlihatkan buku-buku yang pernah ia tulis.
    Daeng Ngewa, telah menghasilkan banyak karya tulis tentang lontarak, dan sastra Makassar. Di antaranya, Pappilajarang Basa Mangkasara (Singarak) jilid satu sampai enam, untuk murid SD, dan Pappilajarang Basa Mangkasara jilid satu sampai tiga, untuk siswa SMP. "Itu buku, saya tulis waktu tahun-tahun 70. Sampai sekarang masih dipakai murid SD dan SMP," ujarnya, lirih.
    Buku lain, Fonologi Bahasa Makassar, Morfologi Bahasa Makassar, Sintaksis Bahasa Makassar, Fonemik Bahasa Makassar, serta Struktur Bahasa Makassar, menjadi referensi banyak peneliti bahasa daerah. Djirong juga menulis buku tentang Riwayat Syekh Yusuf dan Kisah I Makkutaknang dengan Mannuntungi. Buku lain, Taman Sastra Makassar, dan Kamus Makassar Indonesia.
    Selain itu, ada lagi Buku Pedoman Ejaan Bahasa Makassar, dan sejumlah karya yang ia tulis bersama penulis-penulis sastra daerah lain.
    Budayawan yang disebut-sebut juga punya andil dalam perubahan nama Ujung Pandang menjadi Makassar ini, mulai belajar tentang lontara sejak kelas satu SD, di tahun 1940. "Dulu, waktu masih kelas satu SD, semua mata pelajaran itu diajarkan dengan bahasa daerah. Bukan satu tambah satu, tapi se're tamba se're. Murid juga harus menggunakan tulisan lontara. Nanti naik kelas dua, baru diajarkan tulisan latin," tuturnya.
    Ia menyayangkan, pelajaran bahasa daerah yang diajarkan kepada murid SD dan siswa SMP, semakin berkurang. Ia melihat, Bahasa daerah, yang menjadi bagian dari budaya lokal, semakin dilupakan, dan tergerus sejumlah bahasa asing yang masuk dan mendominasi, di setiap mata pelajaran dalam berbagai tingkat pendidikan sekolah. Bahasa daerah sepertinya tidak menarik buat siswa-siswi. Bahasa daerah bahkan hanya diajarkan sekali dalam seminggu.
    Padahal, lanjut Daeng Ngewa, lontara makassar dikaji dan diteliti sejumlah peneliti asing, karena dinilai telah mempertahankan sejumlah tradisi makassar-bugis.    
    Tak heran, Daeng Ngewa, justru banyak mendapat referensi dari literatur-literatur Belanda, seperti Makassaarsche Chrestomatic, yang ditulis Dr Benjamin Frederick Matthes. Buku tersebut, oleh Daeng Ngewa, banyak membahas perubahan tulisan lontara kuno, menjadi lontara baru.
    Ia bahkan mendapatkan manuskrip lontara kuno yang didapat dari seorang peneliti asal Australia. "Itu tulisan lontara kuno, tidak ada yang tahu baca. Nanti itu peneliti ke rumah, saya yang bantu bacakan," ujarnya.
    Bahkan, Prof Anderson, Seorang ilmuan bahasa asal Universitas Cornell, ikut belajar bahasa makassar pada Daeng Ngewa, sampai tiga tahun.
    Ada juga Barbara Grimes, peneliti bahasa dari australia yang meminta bantuan Daeng Ngewa, mendesain aksara lontara untuk diprogramkan dalam tulisan di komputer.
Daeng Ngewa bahkan pernah mendapat penghargaan Celebes Award tahun 2006. Sebuah penghargaan yang diberikan kepada enam budayawan pada tahun 2006.
    Ia juga pernah mengajarkan bahasa daerah Makassar kepada orang-orang amerika di tahun 1978-1990. Daeng Ngewa mulai menulis buku saat menjadi guru di SGB (sekolah guru A), tahun 1954. "Tapi, jauh sebelumnya, saya sudah buat banyak catata-catatan," tambah dia.
    Ngewa memang paham betul tentang lontara dan sastra Makassar. Sepanjang hidupnya, ia habiskan dengan mempelajari banyak hal tentang sastra. Selepas PGSLP (Setingkat SMU, red), ia melanjutkan pendidkannya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan, atau IKIP (Sekarang UNM), Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra. Di perguruan tinggi tersebut, dia menjadi angkatan pertama, dengan nomor urut 5, dan memperoleh predikat Sarjana Muda Bahasa Indonesia, tahun 1963.
    Tak hanya itu, Ngewa bahkan menguasai bahasa Belanda. Ia melihat, Lontara banyak dijelaskan dalam buku-buku berbahasa negara bekas penjajah Indonesia tersebut.
    Banyak profesor ahli bahasa yang pernah menjadi muridnya, di antaranya, mantan Rektor IKIP, Prof Sugira Wahid dan Prof Parawansah.(*)

2 komentar:

  1. bangga berbahasa makassar

    BalasHapus
  2. pantarang emba inja naku sikkomi bidakku lanri mallaku sala ri pangantorang..

    Mohon yang tau makna dari kalimat di atas apa yah..?terima kasih

    BalasHapus

Terima kasih telah berkomentar...