Sabtu, 18 Januari 2014
Mendambakan Muballigh yang Santun
Syahdan, tersebutlah sebuah perkampungan terpencil di jazirah Arab yang nyaris tak tersentuh, dan jauh dari pemukiman masyarakat banyak. Keberadaannya juga nyaris tak tersentuh syiar dan kunjungan para muballig. Meski begitu, masyarakatnya adalah penganut Islam yang taat. Mereka salat, mengaji, puasa, dan menjalankan ibadah sebagaimana yang dituntunkan ajaran Agama Islam.
Namun, ada sesuatu yang ganjil dengan tradisi beribadah di kampung ini. Hampir semua masyarakatnya memang secara rutin melakukan salat berjamaah di masjid. Namun, ketika berangkat, semuanya membawa sebuah timba. Masing-masing mereka memperlakukan benda itu dengan baik, memuliakannya, dan meletakkannya di samping kanan mereka ketika salat.
Di dalam masjid, usai salat Subuh, mereka secara rutin menyimak tausiyah seorang Syekh yang sudah sangat dituakan. Di kampung itu, Syekh tersebut adalah satu-satunya ulama. Konon, puluhan tahun lalu, Sang Syekh itu datang dari negeri yang jauh, membawa AlQur’an dan kitab-kitab sunnah, menggelar halaqah, dan mencerahkan masyarakat yang sebelumnya penganut ajaran animisme itu.
Sang Syekh kemudian disebut-sebut sebagai sang pembawa kebenaran. Meskipun, dalam belasan tahun terakhir, di saat usianya sudah semakin senja, Syekh lebih banyak mengandalkan isi-isi kitab sunnah, ketimbang ingatannya yang sudah semakin rapuh, untuk mengajarkan Ilmu Islam. Ajarannya kemudian menjadi pedoman yang dipegang teguh masyarakat secara radikal. Mereka bahkan menjadi Muslim yang ortodoks.
Hingga tiba suatu masa, datanglah seorang Muballig dari negeri lain, ke kampung tersebut. Dia adalah seorang ustad yang alim, tuntas mempelajari kitab-kitab fiqhi, dan dibentuk oleh proses pendidikan islam dengan sangat disiplin dank eras. DIa selalu tegas ketika melihat bid’ah dan penyimpangan terhadap ajaran-ajaran agama.
Ustad ini terkejut, ketika mengikuti salat di Masjid di kampung tersebut, dan melihat semua jamaah salat dengan sebuah timba di sampingnya. Lalu, ketika tiba saatnya dia diberi kesempatan memberikan tausiyah —-sebagai ustad yang tentu dihormati, dia pun meluapkan keheranannya. Dia berkoar, “kullu bid’atun dalala, wakullu dalalatin finnaar…!!!”
“Semua yang salat dengan menggunakan timba telah melakukan perbuatan bid’ah. Dan pelaku bid’ah itu tempatnya di dalam neraka!!” dia lalu memerintahkan semuanya meninggalkan tradisi menggunakan timba ketika salat, tanpa toleransi. Tanpa mengajar berdialog. Dan siapapun ulama yang memberi fatwa menggunakan timba, pasti adalah ulama yang sesat.
Jamaah di dalam masjid langsung kalap. Belum selesai ceramah, sang ustad langsung diseret, digelandang keluar masjid, dan dikeroyok hingga babak belur. Sang ustad lalu diusir, keluar dari kampung. Hingga kemudian tidak ada muballig yang berani datang untuk meluruskan kekeliruan masyarakat di kampung itu.
Beberapa tahun berlalu, hingga datang lagi seorang ustad. Beda dengan ustad sebelumnya, ustad ini lebih santun, dan lebih memilih melakukan dakwah fardhiyah. Terjun ke masyarakat, dan mengajarkan islam kepada warga dengan lebih dialogis, dia percaya sebagai langkah paling cocok. Ketika masih duduk di bangku sekolah dan kuliah, ustad ini banyak belajar tentang moral, akhlakul karimah, dan budi pekerti.
Salah satu prinsip berdakwah yang terus dipegang teguh oleh dirinya adalah “bilhikmah, mauidah hasanah, dan mujadalah hasanah,” sesuai Surah Annahl 125.
Maka, ketika melihat salat warga yang menggunakan timba, dia pun memilih berdialog dengan warga, Hingga dia mengetahui, tradisi ibadah itu dilakukan masyarakat, berdasarkan fatwa seorang Syekh yang sudah tua di kampung tersebut.
Ustad yang santun ini memilih menyambangi rumah sang Syekh. Di dalam rumahnya, Syekh yang sudah renta ini dengan semringah menerima Ustad. Sang Syekh berbahagia bukan kepalang. Hari itu, untuk pertama kalinya dia berjumpa dengan seorang pemuka agama yang datang dari luar. Keduanya pun larut dalam diskusi panjang tentang agama. Khususnya tentang perkembangan mazhab dan aliran pemikiran islam di luar sana. Sang Syekh begitu senang, karena selama ini ajaran-ajaran fikhi hanya dia gali berdasarkan kitab-kitab suci yang dibawanya ke kampung itu puluhan tahun silam.
Lalu tibalah saatnya untuk mempertanyakan fatwa “menggunakan timba” itu. Sang ustad bertanya, karena tradisi itu hampir tidak ditemukan di kampung-kampung lain, bahkan tidak ada dalil yang membenarkannya.
Sang Syekh, dengan gontai melangkah menuju lemari yang berisi kitab-kitab tua. Tidak lama dia memelototi kitab-kitab tersebut, dan mengambil satu di antaranya. Satu kitab yang ditarik itu sudah berdebu. Beberapa bagian di pinggirnya habis dimakan rayap. Dengan pelan, Sang Syekh membuka lembaran demi lembaran kitab, mencari salah satu dalil yang menganjutkan praktik ibadah tersebut. Menemukan sebuah klausa yang dicari dalam sebuah kitab biasanya cepat, saat usianya masih muda. Namun, dengan usia yang renta, dan mata yang rabun, sudah banyak naskah yang sulit dibaca oleh sang Syekh.
Hingga ditemukanlah dalil tersebut. Sebuah hadits, yang bunyinya begini: “Laa Shalata Illa Bilmagrifah”. Artinya, tidak sah salat tanpa timba. Sang ustad mencermati klausa dalil tersebut. Dia mengamati lembarannya yang sudah kusam. Halaman kitab tersebut mungkin pernah terbuka cukup lama, sehingga terlihat kotor. Ada banyak tai kecoa yang hinggap di bagian dalam halaman kitab.
Sang ustad terus mencermati, dan dia akhirnya paham. Ada satu tai kecoa (tai balepe, bahasa bugis), yang menyerupai titik hinggap tepat di atas huruf ‘ain ( ع ) pada kata ( المعرفة ). Sehingga, kata itu dibaca ( المغرفة ) yang artinya timba.
Dia pun memberi koreksi, bahwa dalil tersebut sesungguhnya berbunyi begini:
لاَصَـلَاةَ اِلاَّ بـِـالمَـعْــرِفَة : tidak sah salat kecuali dengan ma’rifah
Namun, karena tahi kecoa hinggap tepat di atas huruf ‘ain, maka dibaca begini:
لاَصَـلَاةَ اِلاَّ بـِـالمَـغْــرِفَة : tidak sah salat kecuali dengan timba
Ustad meyakinkan sang Syekh, bahwa dia sesungguhnya salah. Bahwa yang dimaksud dalil tersebut adalah keharusan memiliki ma’rifah. Sebuah pengetahuan; pengenalan terhadap Allah Swt. Bahwa, kita harus mengenal Allah, untuk bisa mengerjakan salat dengan sempurna.
Maka, sang Syekh pun meralat fatwanya, dan meminta semua jamaah tidak lagi menggunakan timba saat salat. Karena yang meminta mereka meninggalkan timba adalah Syekh yang sudah dituakan, jamaah langsung meninggalkan tradisi itu, tanpa membantah.
Begitulah dakwah fardhiyah. Dakwah dengan turun ke masyarakat, dan mengajak setiap individu kepada kebaikan dengan cara yang baik dan santun.
Wallahu A’lam Bishshawab
*Kisah ini diceritakan dalam salah satu pengajian subuh, oleh salah satu mahaguru saya, Anregurutta KH Abd Wahab Zakariya MA, ketika masih duduk di bangku pesantren DDI Mangkoso Barru. Dengan sedikit modifikasi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar...