BEBERAPA orang mengibaratkan belajar menulis
itu seperti belajar berenang atau mengendarai sepeda. Terkadang teorinya tidak
penting untuk dipelajari. Anda tinggal “nyemplung” ke kolam, merasakan riak
permukaan air, dan membuat tubuh terbiasa dan beradaptasi dengan sifat dasar
air. Anda bahkan bisa berenang, menyelam, meskipun anda tetap tidak tahu
menjelaskan secara detil, bagaimana anda bisa melakukannya.
Mengemudikan
sepeda juga tak butuh teori. Anda misalnya hanya sering bersepeda, melatih
keseimbangan saat meniti jalan sambil mengayuh pedalnya, dan membiarkan insting
dan tubuh anda beradaptasi dengan sifat dasar sebuah sepeda itu.
Kesamaan
paling penting dari dua hal tersebut, adalah, dibutuhkannya kesabaran dan
ketekunan untuk mencobanya. Seorang jurnalis harus punya kemauan untuk selalu
belajar dan memperbaiki penulisan berita secara terus menerus.
Menulis Sebagai Keterampilan
BICARA tentang menulis, sebagian berpendapat
menulis itu adalah sebuah bakat. Sesuatu yang dibawa dari lahir. Tapi bukan
berarti karena tidak punya bakat, lalu memilih tidak mau menjadi jurnalis atau
penulis.
Hanya
sedikit orang yang terlahir dengan bakat menulis. Tapi semua orang bisa
menulis. Mereka yang punya bakat kita sebut dengan penulis organik, yang memang
mengisi hidupnya dengan menulis. Meluapkan rasa sedih dan bahagianya dalam
tulisan. Mereka
yang merasa, harinya belum sempurna jika menulis. Mereka yang tulisannya selalu
mengalir jika dibaca.
Sementara, mereka yang tak punya bakat menulis, tapi hari-harinya diisi dengan menulis, adalah penulis mekanik. Mereka yang tidak punya bakat, tapi secara kebetulan menjadi jurnalis, mahasiswa yang menulis makalah/skripsi, polisi yang menulis kronologis kejadian atau berita acara pemeriksaan (BAP), termasuk wartawan kampus.
Sementara, mereka yang tak punya bakat menulis, tapi hari-harinya diisi dengan menulis, adalah penulis mekanik. Mereka yang tidak punya bakat, tapi secara kebetulan menjadi jurnalis, mahasiswa yang menulis makalah/skripsi, polisi yang menulis kronologis kejadian atau berita acara pemeriksaan (BAP), termasuk wartawan kampus.
Dalam
konteks ini, kemampuan menulis itu dominan didorong oleh keterampilan,
ketekunan, pekerjaan, atau mungkin karena tekanan. Mereka yang menulis secara
mekanik, bisa jadi mereka yang sesuai dijelaskan dalam training-training
kepenulisan: menulis itu 99 persen keterampilan, ditambah satu persen bakat.
Kesimpulannya,
semua orang bisa menulis, apalagi jika hanya menulis berita.
Sebelum Menulis Berita:
1. Bahan-bahan berita seharusnya
sudah lengkap, dan memenuhi unsur 5W +1H.
2. Kesimpulan anda terhadap
permasalahan pokok yang anda temukan melalui proses reportase harus tuntas dan
jelas.
3. Jangan terpengaruh agenda
setting narasumber maupun pihak-pihak yang ingin mengatur isi pemberitaan.
Andalah yang paling berhak menentukan berita, sesuai agenda setting media anda.
Anda harus yakin pada kesimpulan anda setelah mengkonfirmasi berbagai sumber
yang berbeda-beda (tidak di pihak yang sama).
4. Ingatlah untuk selalu
berpijak pada nurani, dan prinsip-prinsip etika yang sudah anda pelajari dari
orang tua dan guru anda. Berita itu memang diedit dan diperbaiki oleh redaktur.
Namun, harus diperhatikan, sesungguhnya editor terbaik bagi seorang jurnalis
adalah dirinya sendiri, dan hal itu ada dalam nuraninya.
5. Biasakan untuk tidak
menjustifikasi (memvonis) sesuatu berdasarkan opini pribadi. Cukup gambarkan
apa yang anda simpulkan dari hasil-hasil wawancara, dan biarkan pembaca yang
memberi justifikasi. Show it, don't tell!
Menulis Berita Straight News
Straight berarti lurus. Dalam konteks
penulisan berita, straight adalah berita yang bersifat to the point. Tidak
berbelit-belit, boros kata, dan langsung membicarakan pokok permasalahan.
Sebagian besar berita-berita di media cetak dan online, menggunakan pola
penulisan straight.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam
menulis berita:
1. Perbanyak menggunakan titik.
Lebih banyak titik, akan membuat jurnalis
menghindari kalimat majemuk (khususnya majemuk campuran) yang jumlah kalimatnya
terlalu banyak. Kalimat majemuk dengan pola yang rumit kerap membuat
pengutaraan pikiran menjadi sulit dipahami.
Contoh kalimat majemuk:
"Mansyur (46), seorang warga Desa
Gattareng, tewas bersimbah darah setelah ditikam oleh Anas, warga Desa Batuara,
dengan tiga tusukan, gara-gara mansyur membawa kawin lari adik kandung
Anas."
Jika memperbanyak titik, kalimatnya akan lebih
mudah dipahami:
"Mansyur, 46, seorang warga Desa
Gattareng, tewas bersimbah darah. Mansyur ditikam oleh Anas, warga Desa
Batuara. Dada kiri Mansyur ditikam Anas dengan tiga kali tusukan. Penikaman itu
dipicu oleh perbuatan Mansyur yang membawa kawin lari adik kandung Anas.
2. Banyak memakai titik juga membiasakan
jurnalis menggunakan kalimat pendek.
3. Gunakan bahasa yang biasa dan mudah
dipahami. Khalayak media
massa: pembaca surat kabar, pendengar
radio, penonton televisi terdiri dari aneka ragam manusia dengan tingkat
pendidikan dan pengetahuan yang berbeda-beda. Minat perhatian, daya tangkap,
dan kebiasaan mereka berbeda-beda. Maka tulisan harus sesederhana dan sejernih
mungkin agar semuanya bisa memahami. Jika tulisan anda hanya dipahami oleh
minimal manusia yang berpendidikan tinggi, bagaimana dengan mereka yg
berpendidikan sekolah dasar, murid smp/sd, pebecak dst? Tapi jika tulisan itu
minimal dipahami oleh siswa SMP, semuanya sudah pasti paham.
5. Gunakan bahasa dan kalimat aktif, bukan
pasif. Contoh kalimat pasif:
"Si Amat dipukul hingga babak belur oleh si Polan”. Tentu lebih baik jika
“Si Polan memukul si Amat babak hingga belur”.
6. Menggunakan bahasa padat dan kuat. Singkat, dan tuturkan dengan tidak
bertele-tele. Penulis atau wartawan muda seringkali suka terhanyut menulis
dengan mengulangi makna yang sama dalam berbagai kata. Kata-kata yang dipakai
seharusnya efisien dan seperlunya saja. Kembang-kembang bahasa harus
dihindarkan.
Ada teman-teman aktivis mahasiswa yang menulis
begini dalam pernyataan sikapnya, ketika berdemonstrasi:
Semangat egalitarianisme dan gerakan yang
militansi itu akhirnya terpuput, lekang seiring waktu yang terus berjalan.
Idealisme dan pergerakan mahasiswa di era kontemporer ini akhirnya semakin
terkontaminasi oleh. Pusaran pragmatisme, materialisme, dan hedonisme. Olehnya
itu, urgen untuk kembali melakukan sinkronisasi perjuangan mahasiswa
kontemporer dengan era mahasiswa di waktu silam
7. Menggunakan logika yang kuat dan tersusun
dengan baik.
8. Bijak melihat permasalahan.
Ragam Bahasa Jurnalistik
Menurut Slamet Soewandi, secara umum wacana
dengan ragam bahasa jurnalistik memiliki ciri:
Singkat (penuturan yang tidak bertele-tele),
padat (mengacu pada arti; sarat isinya), sederhana (tidak berbelit-belit),
lancar (penuturan yang tidak tersendat-sendat, melainkan mengalir dengan enak),
jelas (penuturan yang tidak menimbulkan multitafsir, (apalagi salah tafsir),
lugas (tidak mengada-ada), menarik (tidak membuat bosan), baku (menurut kaidah
yang berlaku), netral (tidak berpihak atau membedakan tingkatan, jabatan atau
kedudukan orang).
Perlu
diketahui, bahwa yang membedakan ragam bahasa jurnalistik dengan ragam bahasa
yang lain adalah dalam cara penggunaannya. Ragam bahasa jurnalistik digunakan
untuk mengungkapkan hal-hal yang dialami, diketahui, dan dipikirkan oleh
sebagian besar orang (Slamet Soewandi, 1996). Hal-hal itu berupa fakta
(berita), pendapat (opini), dan pemberitahuan.
Beberapa kesalahan penulisan yang kerap
dianggap biasa:
● "Nanti saya kirim email." Email
dalam bahasa Indonesia berarti lapisan
gigi. Mengirim email, sebenarnya berarti
mengirim lapisan gigi. Lebih tepat jika menggunakan "surat
elektronik."
● Kesalahan tata bahasa. Contohnya pada kalimat:
"Perkosa Gadis, Polisi Tangkap
Sule," atau
"Dengan melaju kencang 70 mil perjam,
mobil mogok ditabrak kereta api di jalur KA,"
atau lebih parah:
"Dengan Mengenakan kebaya, Presiden SBY
Menemani Ibu Ani Yudhoyono ke Kondangan."
Ini masuk dalam permasalahan Dangling
Principle, atau persoalan tata bahasa yang sangat banyak dan sering dibuat
wartawan, termasuk akademisi, bahkan sastrawan. Jika kalimatnya seperti di
atas, pertanyaannya, siapa yang memperkosa? Kendaraan mana yang menabrak dan
ditabrak? dan siapa yang mengenakan kebaya? seharusnya, "Dengan Mengenakan
Kebaya, Ibu Ani Yudhoyono Menemani SBY ke Kondangan." Atau "Perkosa
Gadis, Sule Ditangkap Polisi."
● Penggunaan imbuhan ter- dan di-
Bocah SD Tewas Dilindas Truk
MAKASSAR--Seorang mahasiswa salah satu
perguruan tinggi di Makassar, Noval, 27, tewas setelah dilindas mobil truk
tronton di jalan Sultan Alauddin, 5 November. Menurut hasil penyelidikan
polisi, Noval yang mengendarai motor jenis Yamaha Jupiter, awalnya ingin
menyalip mobil truk yang melaju kencang. "Tapi tiba-tiba motornya oleng,
dan korban kehilangan keseimbangan. Sementara mobil truk melaju kencang, dan
pengemudinya tidak bisa lagi mengendalikan. Akhirnya dia dilindas,"
ujarnya.
Pertanyaannya, sudah betulkah judul
"mahasiswa dilindas?" Mana yang lebih tepat, dilindas atau terlindas?
Jurnalis
kerap salah dalam memilih diksi antara kata berimbuhan di- atau ter-. Salah
satu perbedaan fungsi dua imbuhan ini adalah, ter- digunakan untuk perbuatan
yang tidak disengaja. Sedangkan di- digunakan untuk perbuatan disengaja. Ini
berlaku untuk sejumlah kata kerja: terbakar-dibakar, tertembak-ditembak,
terbunuh-dibunuh, tertabrak-ditabrak, dst.
● Kata "Mengamankan". Wartawan
terkadang langsung menulis hasil wawancara dengan polisi, tanpa meminta
penegasan tentang maksud mengamankan itu. Polisi biasanya menggunakan kata
mengamankan untuk menyita barang bukti, menangkap pelaku, menahan pelaku, atau
memang mengamankan pelaku dari ancaman massa.
● "Saya bonceng dengan motorku
ya..." Kata bonceng, dalam KBBI, berarti ikut naik (pada kendaraan roda
dua). Orang yang membonceng, adalah orang yang menumpang di motor orang lain.
Bukan orang mengemudikan motor.
● "Jam berapa sekarang?", seharusnya
"Pukul berapa sekarang?" Pukul berbicara tentang saat, waktu;
sekarang sudah pukul 12.00 WITA. Sedangkan jam berbicara ukuran waktu yang
lamanya 1/24 hari (sehari semalam): "berapa jam waktu anda tidur?"
● Salah menempatkan koma. Contoh:
"Dua anak, lebih baik." Atau,
"dua anak lebih, baik."
● Menggunakan kalimat ambigu pada judul.
Contoh:
"Selamat Datang Bulan Juli”
Kalimat ini bisa berarti "selamat datang,
bulan Juli", atau "Selamat datang bulan, Juli (nama orang)."
● Kesalahan Logika:
"Seorang Pria Tewas di Mampang Setelah
Membusuk Dua Hari". Logika kita jadi terjungkir balik, karena ada orang
yang 'membusuk dulu baru tewas'.
Ada juga yang menulis begini: "Mayat
ditemukan tewas di kamar mandi."
***Materi disari dari berbagai pengalaman,
artikel internet, dan mengutip kata teman sesama jurnalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar...