Sabtu, 18 Januari 2014

Cerita Saya dan Mahfud MD

"Kesenangan itu jika diteruskan, bisa menjadi kesewenang-wenangan…"
Mah­fud MD


 Ungkapan ini disampaikan Mahfud, untuk menjawab pertanyaan mengapa memilih tidak melanjutkan kariernya di Mahkamah Konstitusi (MK) RI, dalam talkshow “Mencari Pemimpin Bernyali” Mata Najwa di Baruga Universitas Hasanuddin, 21 Desember 2012 lalu. Dia rupanya memilih menggantung palu, setelah masa jabatannya berakhir, 4 April 2013 mendatang. Melalui ungkapan itu, dia secara tersirat menegaskan, kursi kepemimpinan itu memang menyenangkan, sekaligus berbahaya, dan berpotensi membuat orang yang mendudukinya lupa diri, kalap, bahkan serakah, jika terus dipertahankan.

Mahfud memilih berhenti di saat kariernya sebagai hakim konstitusi sedang mencapai klimaksnya. Seperti menunaikan anjuran makan dalam ajaran agama, dia berhenti sebelum “kenyang.” Itu poin pentingnya.
Dia mungkin paham betul, arti dan filosofi sebuah kepemimpinan. Tentang candu yang selalu melekat dan mengiringi jalannya proses sang pemimpin. Candu yang akan merajalela, kelak, jika jabatan itu terus dipegang.

Bagi saya, Mahfud lebih dari sekadar hakim yang hanya paham persoalan-persoalan hukum dan etika. Dia juga politikus andal. Saya mengenal Mahfud MD melalui banyak pernyataannya yang kerap dianggap kontroversial, blak-blakan, tapi masuk akal. Pernyataan dan keputusannya selalu muncul sebagai sebuah pukulan telak, yang memecah segala kebuntuan, dan menjadi solusi yang paling tepat, di tengah kegagapan berbagai spekulasi dan asumsi yang sarat kepentingan.


Mahfud menyebut ketersanderaan terhadap kepentingan, dan ketersanderaan terhadap kesalahan-kesalahan, serta aib di masa lalu, sebagai biang yang kerap membuat orang selalu tidak jujur dan fair dalam mengeluarkan asumsi, serta keputusan. Sedangkan pernyataan dan keputusan Mahfud yang logis, jujur, berani, dan blak-blakan itu menunjukkan dirinya yang jauh dari ketersanderaan itu.

Dia berani untuk menyebut, ada mafia narkoba di Istana Presiden RI, misalnya, di saat presiden kerap memberi grasi terhadap beberapa terpidana narkoba. Saat ditanya, dengan enteng dia menjelaskan kecurigaannya, dengan menjelaskan sejumlah keputusan pengadilan tinggi, MA (Mahkamah Agung), hingga peninjauan kembali yang menyebutkan beberapa nama penyalur barang-barang haram itu memang tidak layak mendapat grasi.

Mahfud mewakili lembaga tinggi Negara itu, memutuskan bolehnya warga mencoblos meskipun dengan hanya menunjukkan KTP (Kartu Tetap Penduduk), dalam pemilihan presiden 2009 lalu. Tanpa menunjukkan Kartu Pemilih. Putusan itu, –menurut kabar yang saya dengar, setelah kisruh terkait DPT (Daftar Pemilih Tetap) ganda sedang ramainya, dan ancaman yang datang dari pasangan kandidat Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto akan mundur dari pencalonan, jika DPT-DPT ganda dan fiktif itu tidak diatasi.

Gugatan pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur Sulawesi Selatan, Ilham-Aziz, dalam Pilgub Sulsel 2013 lalu, juga ditolak Mahfud, yang menjadi pimpinan di sidang saat itu. Putusan-putusan itu, setidaknya, dalam pandangan saya, dipilih Mahfud salah satunya karena pertimbangan politik (policy: bijak).

Dalam Pilpres 2009 itu, misalnya, risiko ketika Mega-Prabowo dan Jusuf-Wiranto mundur dari pencalonan gara-gara kisruh DPT, otomatis membuat Pilpres yang menghabiskan anggaran triliunan itu diulang karena pasangan calon hanya satu, yakni SBY-Boediono. Tentu saja triunan anggatan itu mubasir. Termasuk, ketika menolak gugatan dan mengesahkan hasil Pilgub Sulsel, yang menghabiskan ratusan miliar tersebut. 

Meskipun, jika dilihat, ada beberapa tudingan pemohon yang sebetulnya masuk akal, dan punya bukti kuat.
Saya kira masih banyak lagi pernyataan dan putusan menarik dari Mahfud. Kita mungkin juga sudah mendengar, cerita Mahfud yang meminta rekaman pembicaraan percakapan Anggodo Widjojo dengan sejumlah pihak, agar diperdengarkan dalam sidang terbuka.

Melalui tulisan ini, saya sebenarnya ingin bercerita sedikit tentang pengalaman dengan Mahfud, yang tak lama lagi digantikan oleh Akil Mochtar sebagai Ketua MK yang baru terpilih, Selasa 5 Maret. 

Wawancara Khusus, Saya Sempat Membuatnya Menunggu

Sebagai jurnalis, saya cukup sering mewawancarai dia, meskipun kebanyakan hanya wawancara sekilas dengan cara “nodong” bersama wartawan lai, di saat dia selesai menghadiri acara seminar, dan pertemuan lain di Makassar. Pada kesempatan itu, pertanyaan yang diajukan pun harus benar-benar pertanyaan kunci, straight to the poin, dan tidak boleh bertele-tele. Tujuannya untuk memancing statementnya yang terbaru. Tentang politik, hukum, serta masalah kebangsaan lain. Jawabannya terkadang normatif, tapi terkadang juga menohok. 

Saya akhirnya mendapat kesempatan untuk wawancara lebih khusus dengan Mahfud, suatu ketika, di salah satu kamar Hotel Aryaduta Makassar, tempat dia menginap. Saya mendapat pengalaman berkesan, sekaligus semakin memahami kepribadiannya yang apa adanya.

Berkesan, karena saya sempat membuat dia menunggu, hingga setengah jam lebih. Hari itu, Senin, 10 September. Di Malam harinya, saya sebenarnya ditugaskan oleh redaktur, untuk mewawancarai Mahfud MD, pukul 07.00 pagi. Salah satu redaktur, sudah memastikan Mahfud siap diwawancara khusus, dan sudah melakukan komunikasi dengan ajudannya. Namun, mungkin ada kesalahan koordinasi dan miskomunikasi, malam itu, sehingga saya tak kunjung mendapat SMS konfirmasi penugasan hingga pukul 03.00 dini hari. Saya tidur, dan menonaktifkan handphone.

HP saya aktifkan pukul 07.00 lewat beberapa belasan menit. Begitu diaktifkan, panggilan telepon dari salah salah satu redaktur langsung masuk. “kamu di mana? Pak Mahfud MD sudah menunggu?”
Saya bengong, dan mengaku tidak pernah disampaikan perihal penugasan itu. Tapi, jika Mahfud MD masih bisa menunggu, saya “meluncur” sekarang. Dari ujung telepon, saya mendengar nada bicara redaktur seperti tak punya harapan lagi. 

Beruntung, malam itu saya tidur di Kantor Redaksi, Gedung Graha Pena Makassar, yang jaraknya tidak jauh dari Hotel Aryaduta. Saya menelepon teman saya, seorang reporter foto, namanya Idham Ama. Saya menduga, dia yang ditugaskan memotret Mahfud, karena paling rajin, dan selalu kebagian tugas meliput di waktu pagi.

Dugaanku benar. Dia sedang dalam perjalanan menuju Hotel Aryaduta, dan mengaku baru mendapat telepon dari redaktur. Akhirnya, hanya berbekal cuci muka, dan membasahi rambut, saya langsung “tancap gas” ke Aryaduta, dengan melalui jalan-jalan yang sudah mulai padat dan macet.

Pagi itu, saya tiba sekitar pukul 07.30 lewat beberapa menit. Idham tiba lebih dulu. Sebelum masuk hotel, saya langsung mendapat konfirmasi telepon dari ajudannya. Dia menginfokan, jika pak Mahfud sudah kembali ke kamarnya, setelah sarapan sekaligus menunggu saya, di lounge kafe Aryaduta, di lantai satu.
“Tapi pak Mahfud masih bisa ditemui kamarnya. Kita ketemu di kamar saja ya,” ujar sang ajudan, memecah kebingunganku saat itu. Saya bersyukur, akhirnya bisa mewawancarai Mahfud, dan bisa berbincang cukup lama. Mungkin sekitar 30 menit. Hasil wawancaranya ada di sini. 

Hal berkesan dalam wawancara khusus itu, dia tidak pernah mempermasalahkan keterlambatan saya. Usai berpakaian, dia langsung keluar dari kamarnya menuju ruang tamu, mempersilahkan saya duduk, dan meminta mengasup makanan berupa buah-buahan yang ada di meja. Ada beberapa tamu yang datang untuk bertemu Mahfud, pagi itu. Salah satunya Sekretaris Provinsi Sulsel, Andi Muallim, yang harus menunggu wawancara selesai. Hari itu, Mahfud memang punya banyak agenda di Makassar, beberapa di antaranya melakukan pertemuan dengan Gubernur Sulsel dan membawakan kuliah umum di beberapa Universitas, salah satunya Unhas (Universitas Hasanuddin).

Saya beruntung, teman saya Idham sempat meminjamkan saya handphonenya untuk merekam wawancara itu. Maklum, baterai handphone saya saat itu lemah, karena belum sempat saya isi ulang.
Saya sempat dihadiahi salah satu bukunya, yang berjudul “On The Record, Mahfud MD di Balik Putusan Mahkamah Konstitusi.” Saya membaca beberapa halaman dalam buku itu, dan mengatahui, bahwa seorang Mahfud MD pun sesungguhnya tak lepas dari proses negosiasi, dan kesepakatan-kesepakatan politik, ketika maju menjadi hakim di Mahkamah Konstitusi RI.

Buku itu salah satunya mengungkap berbagai upaya lobi yang dia lakukan terhadap sejumlah pimpinan partai di DPR RI. Lobi-lobi yang santun, dengan cara mendatangi para pimpinan partai, untuk bisa menjadi anggota MK, dia ungkapkan dengan blak-blakan. 

Itulah Mahfud MD. Sosok manusia yang selalu blak-blakan, dan apa adanya. Dia adalah tokoh nasional yang tidak tersangkut berbagai ketersanderaan. Ketersanderaan, dalam arti, bersih dari transaksi-transaksi yang bisa mempengaruhi keputusannya; bersih dari aib-aib di masa lalu, yang bisa membuatnya terpuruk.
Di Makassar, Mahfud mendapat gelar “Daeng Tojeng” dari masyarakat. Daeng Tojeng, berarti sosok orang yang selalu bersungguh sungguh; serius.

Saya teringat, dalam diskusi Mata Najwa di Baruga AP Pettarani hari itu, Menteri BUMN, Dahlan Iskan, yang juga hadir sebagai narasumber mengaku khawatir, tidak ada lagi orang seperti sosok Mahfud MD memimpin MK. “Mahfud MD itu logikanya kuat. Ini yang terus saya pikirkan. Saya paling takut, ketika orang yang menggantikan Mahfud tidak seperti dia,” ujar dia.

Ada ungkapan Mahfud yang membuat saya memaksakan diri untuk kembali menulis, dan menulis. Saya memang setiap hari menulis, tapi menulis secara mekanik; dan menunaikannya sekadar memenuhi tugas sebagai jurnalis. 

Ungkapan Mahfud itu kurang lebih bunyinya begini:Saya mendapat lebih banyak pelajaran di bangku kuliah, saat menjadi aktivis, khususnya saat memimpin lembaga pers kampus. Aktif menjadi wartawan kampus, dan menulis, itu membuat wawasan saya bertambah, dan memperkuat logika berpikir, sehingga bisa mengeluarkan keputusan-keputusan logis saat memimpin sidang."

Bulukumba, 6 Maret 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkomentar...