Mahfud
MD
Ungkapan ini disampaikan Mahfud, untuk
menjawab pertanyaan mengapa memilih tidak melanjutkan kariernya di Mahkamah
Konstitusi (MK) RI, dalam talkshow “Mencari Pemimpin Bernyali” Mata Najwa di
Baruga Universitas Hasanuddin, 21 Desember 2012 lalu. Dia rupanya memilih
menggantung palu, setelah masa jabatannya berakhir, 4 April 2013 mendatang.
Melalui ungkapan itu, dia secara tersirat menegaskan, kursi kepemimpinan itu
memang menyenangkan, sekaligus berbahaya, dan berpotensi membuat orang yang
mendudukinya lupa diri, kalap, bahkan serakah, jika terus dipertahankan.
Mahfud memilih berhenti di saat kariernya
sebagai hakim konstitusi sedang mencapai klimaksnya. Seperti menunaikan anjuran
makan dalam ajaran agama, dia berhenti sebelum “kenyang.” Itu poin pentingnya.
Dia mungkin paham betul, arti dan
filosofi sebuah kepemimpinan. Tentang candu yang selalu melekat dan mengiringi
jalannya proses sang pemimpin. Candu yang akan merajalela, kelak, jika jabatan
itu terus dipegang.
Bagi saya, Mahfud lebih dari sekadar
hakim yang hanya paham persoalan-persoalan hukum dan etika. Dia juga politikus
andal. Saya mengenal Mahfud MD melalui banyak pernyataannya yang kerap dianggap
kontroversial, blak-blakan, tapi masuk akal. Pernyataan dan keputusannya selalu
muncul sebagai sebuah pukulan telak, yang memecah segala kebuntuan, dan menjadi
solusi yang paling tepat, di tengah kegagapan berbagai spekulasi dan asumsi yang
sarat kepentingan.
Mahfud menyebut ketersanderaan terhadap
kepentingan, dan ketersanderaan terhadap kesalahan-kesalahan, serta aib di masa
lalu, sebagai biang yang kerap membuat orang selalu tidak jujur dan fair dalam mengeluarkan asumsi, serta
keputusan. Sedangkan pernyataan dan keputusan Mahfud yang logis, jujur, berani,
dan blak-blakan itu menunjukkan dirinya yang jauh dari ketersanderaan itu.
Dia berani untuk menyebut, ada mafia
narkoba di Istana Presiden RI, misalnya, di saat presiden kerap memberi grasi
terhadap beberapa terpidana narkoba. Saat ditanya, dengan enteng dia menjelaskan
kecurigaannya, dengan menjelaskan sejumlah keputusan pengadilan tinggi, MA
(Mahkamah Agung), hingga peninjauan kembali yang menyebutkan beberapa nama
penyalur barang-barang haram itu memang tidak layak mendapat grasi.
Mahfud mewakili lembaga tinggi Negara
itu, memutuskan bolehnya warga mencoblos meskipun dengan hanya menunjukkan KTP
(Kartu Tetap Penduduk), dalam pemilihan presiden 2009 lalu. Tanpa menunjukkan
Kartu Pemilih. Putusan itu, –menurut kabar yang saya dengar, setelah kisruh
terkait DPT (Daftar Pemilih Tetap) ganda sedang ramainya, dan ancaman yang
datang dari pasangan kandidat Megawati-Prabowo dan Jusuf Kalla-Wiranto akan
mundur dari pencalonan, jika DPT-DPT ganda dan fiktif itu tidak diatasi.
Gugatan pasangan calon Gubernur/Wakil
Gubernur Sulawesi Selatan, Ilham-Aziz, dalam Pilgub Sulsel 2013 lalu, juga
ditolak Mahfud, yang menjadi pimpinan di sidang saat itu. Putusan-putusan itu,
setidaknya, dalam pandangan saya, dipilih Mahfud salah satunya karena
pertimbangan politik (policy: bijak).
Dalam Pilpres 2009 itu, misalnya, risiko
ketika Mega-Prabowo dan Jusuf-Wiranto mundur dari pencalonan gara-gara kisruh
DPT, otomatis membuat Pilpres yang menghabiskan anggaran triliunan itu diulang
karena pasangan calon hanya satu, yakni SBY-Boediono. Tentu saja triunan
anggatan itu mubasir. Termasuk, ketika menolak gugatan dan mengesahkan hasil
Pilgub Sulsel, yang menghabiskan ratusan miliar tersebut.
Meskipun, jika
dilihat, ada beberapa tudingan pemohon yang sebetulnya masuk akal, dan punya
bukti kuat.
Saya kira masih banyak lagi pernyataan
dan putusan menarik dari Mahfud. Kita mungkin juga sudah mendengar, cerita
Mahfud yang meminta rekaman pembicaraan percakapan Anggodo Widjojo
dengan sejumlah pihak, agar diperdengarkan dalam sidang terbuka.
Melalui tulisan ini, saya sebenarnya ingin
bercerita sedikit tentang pengalaman dengan Mahfud, yang tak lama lagi
digantikan oleh Akil Mochtar sebagai Ketua MK yang baru terpilih, Selasa 5
Maret.
Wawancara
Khusus, Saya Sempat Membuatnya Menunggu
Sebagai jurnalis, saya cukup sering mewawancarai
dia, meskipun kebanyakan hanya wawancara sekilas dengan cara “nodong” bersama
wartawan lai, di saat dia selesai menghadiri acara seminar, dan pertemuan lain di
Makassar. Pada kesempatan itu, pertanyaan yang diajukan pun harus benar-benar
pertanyaan kunci, straight to the poin,
dan tidak boleh bertele-tele. Tujuannya untuk memancing statementnya yang terbaru.
Tentang politik, hukum, serta masalah kebangsaan lain. Jawabannya terkadang
normatif, tapi terkadang juga menohok.
Saya akhirnya mendapat kesempatan untuk wawancara
lebih khusus dengan Mahfud, suatu ketika, di salah satu kamar Hotel Aryaduta
Makassar, tempat dia menginap. Saya mendapat pengalaman berkesan, sekaligus semakin
memahami kepribadiannya yang apa adanya.
Berkesan, karena saya sempat membuat dia
menunggu, hingga setengah jam lebih. Hari itu, Senin, 10 September. Di Malam
harinya, saya sebenarnya ditugaskan oleh redaktur, untuk mewawancarai Mahfud MD,
pukul 07.00 pagi. Salah satu redaktur, sudah memastikan Mahfud siap diwawancara
khusus, dan sudah melakukan komunikasi dengan ajudannya. Namun, mungkin ada
kesalahan koordinasi dan miskomunikasi, malam itu, sehingga saya tak kunjung
mendapat SMS konfirmasi penugasan hingga pukul 03.00 dini hari. Saya tidur, dan
menonaktifkan handphone.
HP saya aktifkan pukul 07.00 lewat
beberapa belasan menit. Begitu diaktifkan, panggilan telepon dari salah salah
satu redaktur langsung masuk. “kamu di mana? Pak Mahfud MD sudah menunggu?”
Saya bengong, dan mengaku tidak pernah
disampaikan perihal penugasan itu. Tapi, jika Mahfud MD masih bisa menunggu, saya
“meluncur” sekarang. Dari ujung telepon, saya mendengar nada bicara redaktur
seperti tak punya harapan lagi.
Beruntung, malam itu saya tidur di
Kantor Redaksi, Gedung Graha Pena Makassar, yang jaraknya tidak jauh dari Hotel
Aryaduta. Saya menelepon teman saya, seorang reporter foto, namanya Idham Ama. Saya
menduga, dia yang ditugaskan memotret Mahfud, karena paling rajin, dan selalu
kebagian tugas meliput di waktu pagi.
Dugaanku benar. Dia sedang dalam
perjalanan menuju Hotel Aryaduta, dan mengaku baru mendapat telepon dari
redaktur. Akhirnya, hanya berbekal cuci muka, dan membasahi rambut, saya langsung
“tancap gas” ke Aryaduta, dengan melalui jalan-jalan yang sudah mulai padat dan
macet.
Pagi itu, saya tiba sekitar pukul 07.30
lewat beberapa menit. Idham tiba lebih dulu. Sebelum masuk hotel, saya langsung
mendapat konfirmasi telepon dari ajudannya. Dia menginfokan, jika pak Mahfud
sudah kembali ke kamarnya, setelah sarapan sekaligus menunggu saya, di lounge
kafe Aryaduta, di lantai satu.
“Tapi pak Mahfud masih bisa ditemui
kamarnya. Kita ketemu di kamar saja ya,” ujar sang ajudan, memecah kebingunganku
saat itu. Saya bersyukur, akhirnya bisa mewawancarai Mahfud, dan bisa
berbincang cukup lama. Mungkin sekitar 30 menit. Hasil wawancaranya ada di
sini.
Hal berkesan dalam wawancara khusus itu,
dia tidak pernah mempermasalahkan keterlambatan saya. Usai berpakaian, dia
langsung keluar dari kamarnya menuju ruang tamu, mempersilahkan saya duduk, dan
meminta mengasup makanan berupa buah-buahan yang ada di meja. Ada beberapa tamu
yang datang untuk bertemu Mahfud, pagi itu. Salah satunya Sekretaris Provinsi
Sulsel, Andi Muallim, yang harus menunggu wawancara selesai. Hari itu, Mahfud
memang punya banyak agenda di Makassar, beberapa di antaranya melakukan
pertemuan dengan Gubernur Sulsel dan membawakan kuliah umum di beberapa
Universitas, salah satunya Unhas (Universitas Hasanuddin).
Saya beruntung, teman saya Idham sempat
meminjamkan saya handphonenya untuk merekam wawancara itu. Maklum, baterai
handphone saya saat itu lemah, karena belum sempat saya isi ulang.
Saya sempat dihadiahi salah satu
bukunya, yang berjudul “On The Record, Mahfud MD di Balik Putusan Mahkamah
Konstitusi.” Saya membaca beberapa halaman dalam buku itu, dan mengatahui,
bahwa seorang Mahfud MD pun sesungguhnya tak lepas dari proses negosiasi, dan
kesepakatan-kesepakatan politik, ketika maju menjadi hakim di Mahkamah
Konstitusi RI.
Buku itu salah satunya mengungkap berbagai
upaya lobi yang dia lakukan terhadap sejumlah pimpinan partai di DPR RI.
Lobi-lobi yang santun, dengan cara mendatangi para pimpinan partai, untuk bisa
menjadi anggota MK, dia ungkapkan dengan blak-blakan.
Itulah Mahfud MD. Sosok manusia yang
selalu blak-blakan, dan apa adanya. Dia adalah tokoh nasional yang tidak
tersangkut berbagai ketersanderaan. Ketersanderaan, dalam arti, bersih dari
transaksi-transaksi yang bisa mempengaruhi keputusannya; bersih dari aib-aib di
masa lalu, yang bisa membuatnya terpuruk.
Di Makassar, Mahfud mendapat gelar
“Daeng Tojeng” dari masyarakat. Daeng Tojeng, berarti sosok orang yang selalu
bersungguh sungguh; serius.
Saya teringat, dalam diskusi Mata Najwa
di Baruga AP Pettarani hari itu, Menteri BUMN, Dahlan Iskan, yang juga hadir
sebagai narasumber mengaku khawatir, tidak ada lagi orang seperti sosok Mahfud
MD memimpin MK. “Mahfud MD itu logikanya kuat. Ini yang terus saya pikirkan. Saya
paling takut, ketika orang yang menggantikan Mahfud tidak seperti dia,” ujar
dia.
Ada ungkapan Mahfud yang membuat saya
memaksakan diri untuk kembali menulis, dan menulis. Saya memang setiap hari
menulis, tapi menulis secara mekanik; dan menunaikannya sekadar memenuhi tugas
sebagai jurnalis.
Ungkapan Mahfud itu kurang lebih
bunyinya begini: “Saya mendapat lebih banyak pelajaran di bangku
kuliah, saat menjadi aktivis, khususnya saat memimpin lembaga pers kampus.
Aktif menjadi wartawan kampus, dan menulis, itu membuat wawasan saya bertambah,
dan memperkuat logika berpikir, sehingga bisa mengeluarkan keputusan-keputusan
logis saat memimpin sidang."
Bulukumba,
6 Maret 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar...