Selasa, 22 Februari 2011

Mengidentifikasi Aktifitas Korupsi Lewat Kacamata Media

Seperti yang selalu diungkap oleh aparat penegak hukum, kalangan media, dan sejumlah diskursus tentang kejahatan-kejahatan para petinggi Negara kita, korupsi selalu diibaratkan sebagai sebuah tumbuhan menyeramkan, yang akarnya telah berserabut, menjalar dan menggerayangi setiap sudut di lingkungan sekitar ia tumbuh. Tentu saja sulit untuk dimusnahkan. Kalaupun batangnya ditebang, maka akarnya yang di mana-mana akan melahirkan tunas-tunas baru, yang pastinya menyeramkan.
Memberantas korupsi, ibarat menepuk nyamuk-nyamuk yang berseliweran di tengah gelap malam. Kita tak tahu kalau ia ada di mana-mana. Hanya bisa dirasa-rasa lewat pendengaran, kalau nyamuk itu sedang melintas di depan wajah kita. Maka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun diibaratkan cecak yang bertugas menangkap nyamuk yang kebetulan terjangkau. Lalu bagaimana dengan nyamuk yang tak terjangkau? Kita pun akan menebak-nebak, bahwa nyamuk tentu bebas terbang ke sana kemari. Cukup dengan mematuhi aturan yang dibuat oleh pembesar-pembesar nyamuk itu, yakni jangan melintas/hinggap di daerah jangkauan cecak.
Seperti yang selalu tertulis dalam sejumlah artikel, pemberantasan korupsi bukan hanya tugas mereka yang berwenang memberantasnya. Tapi juga tugas kita, selaku masyarakat di Negara ini. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum yang dikaji secara yuridis, dan hanya melibatkan aparat-aparat penegak hukum.
Kita harus akui, korupsi seakan telah berkembang menjadi sebuah “budaya” yang terkesan biasa-biasa saja di kalangan para pejabat. Maka untuk memberantasnya, kita tak hanya memaksimalkan fungsi hukum, tapi dibutuhkan sebuah gerakan yang bertumpu pada kesadaran moral, untuk memberantas kejahatan yang terkesan “biasa” itu. Saya mengatakan kejahatan yang terkesan biasa, karena melihat beberapa realita seperti misalnya: seorang petinggi instansi bingung dengan sisa anggaran yang masih banyak, sementara masa jabatannya berada di akhir tahun, dan akan tutup anggaran. Dana itu cukup banyak, dan sayang, jika tak dicairkan. Maka, disusunlah skenario pengucuran dana “siluman”, dengan sebuah aturan yang sama dengan aturan yang dibuat sang nyamuk: dilarang mendekati cecak. Dalam hal ini, cukup dengan menjaga agar tindakan tersebut tidak masuk dalam kategori korupsi, sesuai yang didefinisikan oleh undang-undang. Seperti yang tertera dalam UU No.20 tahun 2001, yang termasuk kategori korupsi antara lain: merugikan negara, suap menyuap, penggelapan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Bagaimana caranya? Saya kira para pelaku, yang sudah lihai “bermain” punya banyak cara.
Dari hal tersebut, kita dapat menyimpulkan, hukum masih belum menjadi alat ampuh untuk memberantas korupsi. Semakin kita memaksimalkan fungsi hukum, maka semakin tinggi siasat para koruptor untuk melenceng.
Menurut hemat penulis, pemberantasan korupsi membutuhkan pendekatan yang tak hanya menakar aspek yuridis semata. Konkretnya, standar untuk “mengkoruptorkan” seorang pejabat, juga harus ditinjau dengan pendekatan nilai-nilai moralitas dan standar etika yang normatif. Artinya, seorang bisa sadar telah melakukan perbuatan korupsi, bukan karena melanggar undang-undang, tapi berangkat dari kesadaran mendalam diri pribadi, bahwa apa yang ia lakukan itu tidak benar, menurut standar etik yang ia pelajari pada saat sekolah, di pengajian dan sebagainya.
Media, meskipun diakui telah banyak berkontribusi dalam pemberantasan korupsi, namun peranannya masih lebih kepada pemberian efek jera kepada koruptor, dengan sejumlah pemberitaan yang dibeberkan. Media sebenarnya punya potensi yang lebih besar dari itu. Kelebihan media, adalah mampu mengungkap sejumlah aktifitas pejabat yang berpotensi korupsi, yang masih belum dapat dijangkau oleh hukum. Karena media tak hanya mengikuti standar hukum, tapi standar normatif etik yang disepakati orang banyak. Jika aparat penegak hukum kewalahan untuk mengungkap kasus korupsi, karena kasus tersebut masih belum dapat dijerat dengan menggunakan referensi hukum, media mampu mengungkapnya dengan menggunakan analisa normatif yang berlaku, dengan menyajikan penilaian, persepsi, analisis, dan komentar sejumlah pakar dan masyarakat.
Media juga berfungsi untuk melempar wacana, dan memberikan ruang diskusi kepada masyarakat, untuk memperbincangkan beberapa kebijakan pemerintah, termasuk kebijakan-kebijakan yang berpotensi korupsi. Dalam wilayah ini, media tentu sangat berperan. Jika diibaratkan dengan cecak yang kewalahan menangkap nyamuk, media diibaratkan obat nyamuk yang asapnya menyebar ke segala penjuru ruangan, membasmi nyamuk-nyamuk yang berseliweran. Karena itu, satu pelajaran buat KPK, dan beberapa aparat penegak hukum untuk menyadari betapa pentingnya peranan media dalam memberantas korupsi.
(hasbi zainuddin)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkomentar...