Selasa, 21 Januari 2014

Politik Pencitraan Itu Tidak Ada

www.pajak.co.id
www.pajak.co.id
Isu politik pencitraan akhir-akhir ini ramai, dan terus didengungkan. Karena isu politik pencitraan ini pula, beberapa tokoh pemimpin berprestasi yang belakangan muncul dengan citranya yang melejit, diserang dengan tudingan "politik pencitraan" itu.

Saya sendiri sebenarnya masih bingung, betulkah sesuatu yang bernama "politik pencitraan" itu benar-benar ada? Kita memang hanya mengenal kata "citra", sebagai kata dasar pencitraan.


Citra, sesuai defenisinya, adalah cerminan, gambaran tentang seseorang, lembaga, perusahaan dan semacamnya. Karena cerminan, maka apa yang dicitrakan seseorang pastilah sesuai dengan apa yang ada pada dirinya. Paling tidak apa yang dicitrakan itu serupa dengannya.

Lalu, mengapa pula citra itu dipolitisasi? Mari kita menerka-nerka maksud politik pencitraan yang sering dibicarakan orang-orang, termasuk pakar pemerintahan dan politik. Kesimpulan pertama, barangkali maksud politik pencitraan itu merujuk pada orang-orang, pejabat politik khususnya, yang membuat strategi khusus agar citranya bersinar terang. Bahkan, citra itu dibuat melebihi apa yang ada pada dirinya, sehingga orang-orang yang hanya melihat citra yang dia pancarkan, menjadi kagum dan jatuh hati pada diri pada pejabat politik itu.

Tapi apa iya? orang-orang bisa memanipulasi-mempercantik citranya, sehingga citra itu berbeda dengan dirinya yang asli? Sebab, ada lho, orang yang sudah melakukan pencitraan yang lumayan hebat, tapi apa yang dia citrakan tidak berubah kok. Sebutlah Bapak Presiden SBY. Pencitraan orang nomor satu Indonesia ini luar biasa.

Kalimat-kalimat motivasi yang manis disampaikan pak SBY melalui Facebook dan Twitter secara intens. Begitupun dengan foto-foto dirinya dengan pose berwibawa, hingga terkesan narsis. Album lagu dan bukunya yang berjudul "Selalu Ada Pilihan" juga sudah terbit. Tapi kok citranya justru semakin menurun?
Kesimpulan lainnya, kita mungkin sepakat, politik pencitraan itu adalah sebuah kegiatan yang dilakukan oleh pejabat tertentu, secara sadar, disengaja, atau mungkin terorganisasi. Kita ambil kesimpulan itu, karena beberapa tudingan orang orang yang kita kenal, seperti Ruhut Sitompul, atau Amien Rais terhadap Jokowi.
Menurut Ruhut dan kawan-kawannya, Jokowi itu sengaja melakukan politik pencitraan. Ruhut menilai, kualitas Jokowi cuma blusukan, dan tidak punya prestasi yang hebat hanya karena banjir kembali terjadi di Jakarta. Yang dimiliki Jokowi hanya strategi pencitraan hebat. Lalu Amien Rais meminta agar Jokowi minta maaf.

Jika menerjemahkan maksud Ruhut, berarti Jokowi cuma blusukan, dan kinerjanya yang lain tidak dianggap ada. Jokowi melakukan/menjalankan strategi politik pencitraan, mungkin berarti Jokowi intens membayar media-media massa, untuk meliput kegiatan-kegiatan blusukannya? Dan membayar media massa untuk tidak meliput kejelekan yang bisa membuat citranya jatuh?

Saya kira ini juga membingungkan. Saya tidak yakin, Jokowi bisa membayar media-media besar, seperti TVOne, Metro TV, MNC TV, RCTI, Kompas, dan lain-lain, untuk meliput kegiatan blusukannya secara intens setiap hari. Toh, beberapa media yang saya sebutkan itu juga intens mencitrakan "big bos"-nya yang sedang mencalonkan diri sebagai presiden: Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Hari Tanoe. Tapi citra pimpinan perusahaan media itu biasa-biasa saja.

Saya percaya, Jokowi diliput, karena semata-mata, apa yang dia lakukan itu bernilai berita, dan menarik dibaca/disaksikan. Berita yang menarik dibaca, membuat nilai tawar media dalam hal bisnis (iklan dan penjualan) meningkat. Saya kita itu saja. Jadi, saya kira, Jokowi tidak begitu serius menyusun strategi pencitraan. Jokowi malah tidak lebih serius dibandingkan SBY dalam melakukan pencitraan yang disengaja. Foto, berita dan kegiatan SBY malah lebih intens diberitakan di media massa. SBY juga lebih aktif (secara sengaja) membuat status di media sosial dengan maksud membangun citra.

Saya juga yakin, seorang Dahlan Iskan, Menteri BUMN, tidak secara sengaja melakukan pencitraan, misalnya dengan menyuruh media atau teman memotretnya, saat membuka pintu tol Semanggi 2012 silam. Aksi itu kemudian membuat citranya melejit, hingga menjadi salah satu kandidat capres selain Jokowi yang populer.


Maka dengan ini, sepakatkah anda, kalau saya berkesimpulan, politik pencitraan itu sebenarnya tidak ada? Betul, banyak orang yang berusaha membangun pencitraan. Tapi citra itu tidak bisa dipolitisasi. Orang-orang bisa mencitrakan sesuatu yang luar biasa, karena dirinya memang luar biasa. Bukan dibuat-buat. 

Maka, jika ingin punya citra yang baik, perbaiki kualitas diri, integritas moral yang baik, dan buatlah kinerja yang benar-benar berkualitas. Citra anda dengan sendirinya pasti baik. Saya tidak menampik, banyak orang-orang hebat, punya kualitas kinerja yang baik, tapi pencitraannya kurang, karena kurang mendapat publikasi oleh media massa. 

Tapi, saya yakin, orang-orang dengan kualitas kinerja jelek, meimliki rekam jejak yang tidak baik, tidak akan punya citra yang bagus. Bagaimanapun dia membangun citranya.

Maka dengan begitu, Jokowi dan Dahlan Iskan, saya kira orang yang punya kualitas yang hebat, tanpa politik pencitraan. Saya tetap kembali berpegang pada definisi dari KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Bahwa citra itu adalah cerminan.  Tidak  bisa dimanipulasi.

Wassalam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkomentar...