![]() |
pemandangan pantai dusun kasuso |
Dijuluki kampung perempuan, karena sulit menemukan kaum lelaki di kampung tersebut. Namanya Kasuso, sebuah dusun di Desa Darubiah, Kecamatan Bontobahari. Di kampung pesisir yang eksotik itu, para lelaki keluar mengarungi lautan untuk menjadi buruh kapal, nelayan, hingga juragan kapal. Para perempuan yang ditinggal, banyak mengisi waktunya dengan menenum. Menariknya, kampung dengan pasir putih dan pemandangan yang indah ini nyaris tak tersentuh kesan lokasi industri wisata yang komersil, apalagi hiburan malam. Warganya yang agamis, selalu menolak.
Letaknya
sekira lima kilometer sebelum pantai wisata tanjung Bira, Kabupaten Bulukumba.
Mengunjungi Kasuso, salah satu kampung di Desa Darubiah, Kecamatan Bontobahari
tersebut, saya harus melewati jalan sempit yang berliku, menanjak, dan menurun
tajam di sisi tebing gunung. Jalan tersebut membelah hutan yang dirimbuni
pohon-pohon tua yang besar, dan belukar semak. Ada beberapa gua yang menganga
ditemukan di sisi jalan.
Di kampung
yang terletak di pesisir pantai tersebut, kompleks rumah warga terlihat padat.
Sebagian besar adalah rumah panggung terbuat dari kayu. Kampung ini ramai oleh
anak-anak, yang bermain di jalan-jalan kampung. Para perempuan banyak terlihat
di beranda, kolong dan tangga rumah. Namun, sebagian besar mereka terlihat
sedang mengerjakan aktivitas rutinnya: menenun kain sarung.
![]() |
perempuan menenun |
Saya menemui
Junaedah, 40 tahun, seorang istri yang ditinggal suaminya sejak 25 tahun lalu.
Junaedah sudah punya tiga orang anak, dan punya beberapa cucu. Saya menemui
perempuan ini saat sedang sibuk menenun kain sarung, dengan motif khas Samarinda,
Sabtu 24 Agustus 2013 lalu. Dua orang anak laki-lakinya yang dewasa kini sudah
menjadi anak buah kapal (ABK).
"Suami
pergi sejak tahun 1986. Waktu itu saya pengantin baru. Cuma tiga malam setelah
menikah, dia sudah pergi melaut," tuturnya, sambil memainkan alat tenun
tradisional di tangannya. Dia menuturkan, suaminya, Mahmud, 43, baru datang
setelah tiga bulan kemudian.
"Sekarang,
dia datang setiap tahun," jelas dia. Suaminya biasanya datang lebih cepat,
jika kebetulan kapalnya melintas di perairan Bulukumba. Saat ini, suami
Junaedah sudah menjadi juragan Kapal kayu, dengan 13 orang ABK (Anak Buah
Kapal). "Kerjanya mengangkut barang-barang, seperti semen, ke Timika,
Papua, dan pulau lainnya," jelas dia.
Junaedah
adalah satu dari ratusan wanita di Kampung Kasuso yang ditinggal suami. Sudah
menjadi kebiasaan para perempuan di kampung tersebut, untuk mengisi
kesendiriannya dengan menenun. "Kecuali kalau suami datang, ya saya
berhenti dulu untuk melayani suami," ucap Junaedah, sambil tersenyum.
Di kampung
Kasuso, jadwal pulang kampung para lelaki tidak tentu. Banyak di antara mereka
pulang kampung di saat lebaran. "Banyak juga suami yang baru pulang
setelah dua tahun, sampai tiga tahun lebih. Sampai ada yang anaknya sudah
besar-besar dan tidak dikenali. Suami saya, dulu pergi waktu anak masih bayi.
Pas pulang, sudah masuk TK," jelas salah satu perempuan lainnya, Subaeni,
29.
Seperti
wanita-wanita lainnya, Subaeni harus merelakan suaminya menjadi ABK (Anak Buah
Kapal), untuk mendapat penghasilan, dan menyekolahkan anak. Subaeni
menceritakan, tidak sedikit lelaki yang melaut, kecantol perempuan di tanah
rantau, hingga menikah.
"Tapi,
biasanya, istrinya tetap tinggal di sana (tanah rantau, red). Tidak ada yang
berani bawa pulang istri keduanya ke sini. Kecuali mereka yang memang bujang
waktu pergi melaut," jelas dia. Dia menjelaskan, ada juga suami yang
membawa istrinya ke tanah rantau, setelah sukses dan menjadi orang kaya.
![]() |
salah satu pemandangan pantai |
Kasuso
merupakan kampung yang tidak jauh dari pelabuhan Bira, di bagian timur
Bulukumba. Disebut Kasuso (suso: siput laut, red), karena banyak ditemukan
siput di sana. Topografinya yang khas dengan tebing batu dan pasir putih, tak
kalah menarik dengan kawasan pantai wisata Tanjung Bira. Ada beberapa tempat di
kawasan tersebut, yang sering dikunjungi turis. Salah satunya adalah sebuah
mata air tawar yang terletak tepat di bibir pantai, yang airnya hanya bisa
diambil saat air surut. Sebab, jika air pasang, mata air tawar tersebut
tertutupi air laut.
Kepala Dusun
Kasuso, Ahmad Nur daeng Lewa, 61 menjelaskan, jumlah penduduk di kampung
tersebut mencapai seribuan orang lebih. "Tapi sebagian besar pergi
merantau. Penduduk yang sekarang tinggal kebanyakan perempuan," jelas dia.
![]() |
pantai kasuso dengan pasir putihnya |
Ahmad
menjelaskan, meskipun kampung tersebut berpotensi untuk menjadi lokasi wisata,
namun warga kampung menolak untuk dijadikan kawasan wisata. "Kampung ini
sudah sering didatangi para turis. Banyak juga yang mendatangi mata air tawar
itu. Selain itu, sarung hasil tenun warga juga banyak pembelinya. Satu sarung tenun
harganya Rp300 hingga Rp750 ribu. Satu perempuan bisa hasilkan satu sarung
dalam satu Minggu," jelas dia.
Warga Kasuso
adalah penganut Islam yang taat, dan mempertahankan tradisi. "Karena itu,
warga tidak ingin kawasan ini menjadi wisata, karena kawasan wisata selalu
identik dengan pembangunan hotel, hiburan malam, dan kawasan bisnis,"
jelasnya. Meskipun menolak jadi kawasan wisata, sambutan warga yang ramah saat
menerima pengunjung, sesungguhnya telah membuat Kasuso menjadi kawasan wisata
alternatif, yang lebih alami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkomentar...