Sabtu, 18 Januari 2014

Benarkah AlQur’an Menganjurkan Poligami?


وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُولُوا (QS Annisa: 3) 

“Dan jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan-perempuan (lain) yang senang (rela) kamu nikahi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil juga, maka (nikahilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Saya ingin berbagi sedikit tentang salah satu kaidah ilmu nahwu (gramatikal bahasa arab), yakni Jumlah Jawabussyarthiyah (kalimat jawaban bersyarat). Saya bukan ahlinya. Hanya secara kebetulan tahu sedikit tentang ini, saat mengenyam pendidikan agama, dulu. Pembahasan ini saya kira menjadi penting untuk saya tuliskan, untuk setidaknya menyinggung penceramah yang menjelaskan ayat secara sepotong, tanpa melihat jelas konteks dan pembicaraan ayat AlQur’an itu.

Jumlah Jawab Syarthiyah, ( جملة جواب الشّرطيّلة), mungkin adalah salah satu jenis klausa. Klausa yang tidak bisa berdiri sendiri. Sebuah klausa yang berdiri dengan menjadi “jawaban bersyarat” atas klausa sebelumnya. Sebab, jika tak disebutkan, kalimat pasti akan rancuh. Mungkin ahli bahasa arab yang kebetulan membaca artikel ini bisa menambahkan jika masih ada yang kurang. Tafaddal!


Misalnya begini:

ان ظلم صاحبك زيد فاغضبه

“Apabila temanmu berbuat dzolim, maka marahilah dia”

Kata اِنّ yang berarti “apabila” dalam kalimat pertama, menunjukkan bahwa klausa tersebut harus diikuti oleh kata kalimat jawaban bersyarat yang ditandai dengan kata “maka”. Dalam kalimat فاغضبه  (maka marahilah dia) di atas, kata “maka” atau فَ disebut dengan istilah فاءُالجواب الشرطية  atau huruf fa (maka) yang menandakan جملة جواب الشّرطيّلة pada kalimat.

Secara sederhana, prinsip ini sebenarnya mengatur, bahwa kalimat yang terdiri dari dua klausa di atas, haruslah utuh. Tidak boleh disebut sepotong-sepotong seperti “maka marahilah dia...” tentu akan terasa rancuh.

Mari kita lihat kaidah tersebut pada ayat yang disebutkan pada paragraf pertama di atas. QS Annisa: 3, yang selalu menjadi ayat andalah ustad, ketika membahas bolehnya kawin dua hingga empat:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim… maka nikahilah perempuan-perempuan…

Kalimat “maka nikahilah perempuan-perempuan, dua tiga atau empat” Adalah jumlah jawab syarthiyah dari klausa sebelumnya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim…”

Sama halnya dengan klausa

فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَة
“Jika kamu takut tidak dapat berlaku adil” —-klausa pertama. “maka (nikahilah) seorang saja” —-klausa jawab syartiyah.

Karena menjadi klausa jawab syartiah, ayat ini tentu harus lengkap ketika disebutkan, dikutip, atau jadi bahan khotbah, ceramah-ceramah, khotbah nikah, bahkan takziyah!


Sebagai pendengar, tidak sedikit kita mendengar ustad yang berceramah, yang hanya menyebutkan ayat:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ

“Maka nikahilah perempuan-perempuan yang senang (rela) kamu nikahi: dua, tiga atau empat…”

Ayat ini disebutkan tanpa menjelaskan klausa sebelumnya. Lalu, hanya berdasar sepotong ayat itu, ustad kemudian menegaskannya menjadi sebuah dalil (atau dalih) untuk membenarkan, hingga “menganjurkan” menikah dua, tiga, hingga empat kali. Ya, jika ditelisik, ayat ini sebenarnya lebih berbicara tentang anjuran memelihara anak yatim ketimbang menganjurkan berpoligami.

Saat itu, ayat AlQur’an tersebut, yang langsung berlaku sebagai aturan hukum/undang-undang (quote of law), turun karena menurunnya populasi laki-laki karena ikut berperang, dan banyaknya anak yatim yang ditinggalkan bapaknya. Banyak juga perempuan yang harus menjanda karena ditinggal pergi suaminya dalam jihad.

Lalu muncullah kebijakan untuk menganjurkan memelihara anak yatim. Lalu umat islam dianjurkan untuk menikahi dua, tiga, hingga empat perempuan (janda) supaya anak yatim itu bisa dipelihara dan dibesarkan dengan baik.

Saya tentu tidak mengkritik apalagi bersikap kontra terhadap ustad-ustad poligami. Lagipula, poligami tetaplah perkara yang boleh dilakukan, dan tidak ada yang melarang. Wallahu A’lam Bishshawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkomentar...